Selasa, 04 Oktober 2011

Menentukan Masalah Penelitian

BAB I. PENDAHULUAN

Masalah penelitian merupakan suatu pondasi dalam melakukan suatu penelitian. Singkatnya, masalah penelitian adalah adanya gap atau kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, teori dengan praktek, yang seharusnya dengan yang terjadi. Masalah penelitian bukan merupakan suatu rumusan tujuan. Ketika ditanya apa masalah penelitianmu? Beberapa menjawab: ”Ingin mengetahui…” dan itu adalah rumusan tujuan, bukan suatu masalah penelitian.

Menentukan masalah penelitian bukanlah suatu hal yang mudah. Oleh karena itu untuk menentukan masalah penelitian, perlu mengetahui dulu apa masalahnya. Sebagian besar pemecahan masalah tergantung pada pengetahuan peneliti tentang masalah tersebut. Sebagian lain ditentukan oleh pengetahuan peneliti tentang sifat dan hakekat masalah tersebut. Dengan kata lain, masalah adalah sebuah kalimat Tanya atau kalimat pertanyaan.

Masalah penelitian akan menentukan keberhasilan dari suatu penelitian. Ada seorang pakar penelitian yang menyatakan bahwa ”Ketika seorang peneliti sudah berhasil memformulasikan (baca: ”menemukan”) masalah penelitian, maka sebenarnya 50% penelitian tersebut sudah berjalan”. Begitu juga sebaliknya, ketika masalah penelitian itu belum ditemukan, maka penelitian itu selamanya tidak akan berjalan.

Oleh karena pentingnya masalah dalam suatu penelitian maka dalam makalah ini penulis mencoba membahas tentang menentukan masalah penelitian yang didalamnya menjelaskan tentang urgensi menentukan masalah penelitian, latar belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan masalah, dan pembatasan masalah.

BAB II. PEMBAHASAN

A. Urgensi Menentukan Masalah Penelitian

Salah satu langkah paling penting dalam penelitian adalah penentuan permasalahan. Pemecahan (problematic) adalah suatu penelitian lebih dititik beratkan pada sesuatu yang dipermasalahkan sehingga harus dibedakan dengan permasalahan (subjec). Pada waktu berbicara tentang “Kinerja Polisi” berarti berbicara tentang suatu permasalahan, tetapi berbicara tentang “mengapa terjadi kemerosotan Kinerja Polisi” adalah sesuatu permasalahan yang memerlukan pemecahan. Satu hal yang harus disadari ialah bahwa pada hakikatnya suatu permasalahan tidak pernah berdiri sendiri dan terpisah dari faktor-faktor lain. Permasalahan dapat merupakan variabel yang menjadi tema pokok penelitian, dapat pula berupa kasus yang menjadi fokus suatu penelitian. Suatu variabel atau suatu kasus akan diangkat menjadi permasalahan penelitian jika terjadi kesenjangan antara kenyataan dan seharusnya dari variabel atau kasus tersebut.

Banyak peneliti menemukan kesulitan dalam menentukan permasalahan penelitian sehingga menghambat perkembangan kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Pada umumnya keadaan berikut ini bisa menjadi penuntun mewujudkan permasalahan:

(1) Bila ada informasi yang mengakibatkan munculnya kesenjangan dalam pengetahuan kita.

(2) Bila ada hasil-hasil penelitian atau kajian yang bertentangan.

(3) Bila ada suatu kenyataan dan kita bermaksud menjelaskan melalui penelitian.

Peneliti pemula seringkali mengalami kesulitan menentukan permasalahan yang baik. Berikut ini dikemukakan beberapa karakteristik permasalahan yang baik (tepat) dijadikan permasalahan penelitian sebagai berikut:

a. Topik atau judul yang dipilih adalah sangat menarik.

b. Pemecahan permasalahan harus bermanfaat bagi orang yang berkepentingan dalam bidang tertentu.

c. Permasalahan yang dipilih merupakan sesuatu yang baru.

d. Mengundang rancangan yang lebih kompleks.

e. Dapat diselesaikan sesuai waktu yang diinginkan.

f. Tidak bertentangan dengan moral.

Peneliti perlu berlatih agar terampil mengidentifikasi permasalahan. Kegiatan berikut ini membantu peneliti untuk mengidentifikasi permasalahan.

(1) Membaca sebanyak-banyaknya literatur yang berhubungan dengan bidang permasalahan yang akan diteliti dan bersikap kritis terhadap apa yang dibacanya;

(2) Menghadiri kuliah atau ceramah-ceramah profesional;

(3) Melakukan pengamatan pengamatan terhadap situasi atau kejadian-kejadian di lingkungan profesinya;

(4) Memikirkan kemungkinan ditemukannya permasalahan-permasalahan dari materi kuliah;

(5) Melakukan penelitian-penelitian kecil dan mencatat hasil atau temuan yang diperoleh;

(6) Menghadiri seminar-seminar hasil penelitian;

(7) Mengungjungi berbagai perpustakaan untuk mencari topik yang dapat diteliti;

(8) Berlangganan jurnal atau majalah yang berhubungan dengan bidang permasalahan yang akan diteliti; dan

(9) Mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan bidang permasalahan yang akan diteliti.[1]

Dalam sebuah penelitian, menentukan masalah penelitian merupakan suatu hal yang penting, karena sebuah penelitian akan dilakukan apabila sudah diketahui masalahnya. Artinyaa, masalah menuntun peneliti melakukan penelitian. Oleh karena tujuan dari pemilihan dan menentukan masalah penelitian adalah untuk :

1. Mencari sesuatu dalam rangka pemuasan akademik seseorang

2. Merumuskan perhatian dan keinginan seseorang akan hal-hal yang baru

3. Meletakkan dasar untuk memecahkan penemuan-penemuan sebelumnya atau dasar untuk peneliti selanjutnya

4. Memenuhi keinginan sosial; dan

5. Menyediakan sesuatu yang bermanfaat.[2]

Kriteria atau ciri dalam memilih dan menentukan masalah penelitian adalah[3]

1. Masalah yang dipilih harus dirumuskan dengan ccara tertentu yang menyiratkan adanya kemungkinan pengujian empiris suatu masalah yang tidak memuat implikasi pengujian hubungan atau hubungan—hubungan yang dinyatakannya.

2. Masalah yang dipilih harus harus mempunyai nilai penelitian : (a). mempunyai keaslian, (b). merupakan hal yang penting, (c). dapat diuji, (d). mengungkapkan suatu hubunngan antara 2 atau lebih variabel, dan (e). jelas dan tidak ambigu dalam bentuk kalimat pertanyaan.

3. Masalah yang dipilih harus fleksibel yakni masalah tersebut dapat dipecahkan. Artinya bahwa : (a). data dan metode untuk memecahkan masalah harus tersedia, (b). biaya untuk memecahkan masalah relative harus dalam batas-batas kemampuan, (c). waktu untuk memecahkan masalah harus wajar, (d). biaya dan hasil harus seimbang, (e). administrasi dan sponsor harus kuat, dan (f). tidak bertentangan dengan hukum dan adat.

4. Masalah yang dipilih harus sesuai dengan klasifikasi peneliti, paling tidak masalah yang dipilih sekurang-kurangnya : (a). menarik bagi si peneliti ; dan (b). cocok dengan kualifikasi ilmiah si peneliti.

Kemudian, yang menjadi kendala untuk memperoleh masalah adalah kesanggupan peneliti menggali dan mengidentifikasi masalah seta mengetahui sumber-sumber dari masalah tersebut. Masalah penelitian dapat diperoleh anatar lain dengan melakukan :[4]

1. Pengamatan terhadap kegiatan manusia

2. Bacaan-bacaan

3. Analisa bidang pengetahuan

4. Ulangan dan perluasan penelitian

5. Cabang studi yang sedang dikembangkan

6. Pengetahuan dan catatan pribadi, praktek, dan keinginan masyarakat

7. Bidang spesialisasi pelajaran yang diikuti

8. Pengamatan terhadap alam sekeliling, dan

9. Diskusi-diskusi ilmiah

Dalam menentukan masalah penelitian maka kita tidak akan terlepas di dalamnya dari berbagai permasalahan di dalamnya diantaranya yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan masalah. Yang kemudian akan penulis jelaskan dibawah ini.

B. Latar Belakang Masalah

Latar belakang masalah adalah deskripsi singkat peneliti tentang obyek penelitian yang memuat :

1. Penalaran pentingnya pembahasan masalah atau alas an yang mendorong pemilihan masalah.

2. Telaah pustaka atau komentar mengenai tulisan yang telah ada yang berhubungan deengan masalah yang dibahas.

3. Manfaat praktis hasil pembahasan di dalam skripsi, serta

4. Perumusan masalah pokok (grand problem) yang akan dibahas secara jelas dan eksplisit dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan yang dapat membangkitkan perhatian membaca.

Inti dari latar belakang masalah adalah upaya peneliti untuk menggambarkan ada tidaknya masalah penelitian (scientific research problem) yakni penyimpangan antara yang seharusnya dengan apa yang benar-benar terjadi atau kesenjangan antara harapan (das sollen) dengan kenyataan (das sain).

Masalah ilmiah memiliki ciri-ciri minimal sebagai berikut:

1. Masalah harus feasible, dalam arti masalah tersebut harus dapat dicarikan jawabannya melalui sumber yang jelas, tidak banyak menghabiskan dana, tenaga, dan waktu.

2. Masalah harus jelas yaitu semua orang yang memberikan persepsi yang sama terhadap masalah tersebut.

3. Masalah harus memiliki batas/ ruang lingkup tertentu.

4. Masalah harus signifikan, dalam arti jawaban masalah yang diberikan harus memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu dan pemecahan masalah kehidupan manusia.[5]

C. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah upaya peneliti untukk mengeksplorasi berbagai kemungkinan pertanyaan yang dapat diajukan dan relevan berkaitan dengan variable penelitian yang dipilih. Jumlah butir pertanyaan tidak dibatasi, sepanjang memiliki relevansi dengan variabel penelitian tersebut.[6]

Identifikasi masalah adalah salah satu proses penelitan yang boleh dikatakan paling penting diantara proses lain. Masalah penelitian akan menentukan kualitas dari penelitian, bahkan juga menentukan apakah sebuah kegiatan bisa disebut penelitian atau tidak. Masalah penelitian secara umum bisa kita temukan lewat studi literatur atau lewat pengamatan lapangan (observasi, survey, dsb). Skripsi untuk level S1 seharusnya didesain untuk memecahkan masalah yang lebih riil dan sifatnya applied. Mahasiswa cukup fokus ke masalah yang ada di sekitarnya. Kalau jurusan kita di computing, kita lakukan saja observasi di lingkungan kita. Misalnya universitas, dosen, dan mahasiswa itu punya masalah apa yang kira-kira bisa kita pecahkan dengan teknologi informasi dan aplikasinya. Intinya kita harus kejar terus masalah penelitian ini, dan jangan lupa bahwa masalah yang kita identifikasi tersebut benar-benar menjadi masalah yang harus dipecahkan, bukan masalah yang kita ada-adakan.

Masalah penelitian bisa didefinisikan sebagai pernyataan yang mempermasalahkan suatu variabel atau hubungan antara variabel pada suatu fenomena. Sedangkan variabel itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pembeda antara sesuatu dengan yang lain. Ketika kita mengambil topik penelitian untuk membedakan raut muka mahasiswa yang sedang tidak punya uang dan mahasiswa yang lagi banyak uang, kita punya variabel “raut muka” dan variabel “keadaan keuangan”. Nah kita ingin tahu hubungan dua variabel ini, jadilah itu sebuah masalah penelitian.

Kemudian sumber masalah tersebut dari mana datangnya? Sumber masalah penelitian bisa muncul dari tiga hal:

1. Masalah Yang Ada di Manusianya Sendiri (People and Problem)
Kita harus hati-hati supaya tidak terjebak ke masalah di sekitar manusia yang bukan penelitian. Tapi juga jangan “saklek”, karena masalah manusia yang tadinya bukan masalah penelitian bisa kita “goyang sedikit” menjadi masalah penelitian. Contoh, mahasiswa punya masalah pokok yaitu “kekurangan uang”. Ini bisa kita “konversi” menjadi masalah penelitian misalnya menjadi :
* Mendeteksi raut muka mahasiswa tidak punya uang dengan face recognition system
* Model bisnis di Internet dengan modal kecil untuk mahasiswa
2. Masalah di Cara, Teknik dan Struktur Kerja (Program)
Teknik dan struktur kerja yang bermasalah tentu juga bisa menjadi masalah penelitian. Contoh, dosen-dosen yang sangat sibuk ternyata kesulitan menemukan satu waktu yang pas untuk meeting bulanan di universitas. Nah ini jadi masalah penelitian, pendekatannyanya nanti kita bisa kembangkan satu aplikasi scheduling dengan sedikit sistem pakar didalamnya yang secara otomatis memberikan beberapa alternatif waktu meeting yang pas untuk semua.
3. Fenomena yang Terjadi (Phenomenon)

Fenomena yang ada di sekitar kita juga bisa menjadi masalah penelitian yang menarik. Contoh, fenomena bahwa situs portal yang dikembangkan di perusahaan-perusahaan ternyata sepi pengunjung. Nah ini adalah sebuah fenomena, untuk meningkatkan traffic, misalnya bisa dengan memainkan bebrapa teknik supaya search engine mau menengok situs kita, ini sering disebut dengan Search Engine Optimization. Nah dari sini kita sudah dapat judul: “Mengembangkan situs portal traffic tinggi dengan teknik Search Engine Optimization (SEO)”. Fenomena lain lagi, proses pendeteksian golongan darah untuk skala besar (massal) misalnya untuk seluruh mahasiswa universitas yang mencapai 5000 orang ternyata memakan waktu yang sangat lama. Ini sebuah fenomena, kita beri solusi dengan software sistem yang menggunakan beberapa teknik artificial intelligence yang memungkinkan pendeteksian golongan darah ini. Sehingga 5000 orang bisa kita proses dalam beberapa jam misalnya.

Supaya masalah penelitian yang kita pilih benar-benar tepat, biasanya masalah perlu dievaluasi. Evaluasi masalah penelitian biasanya berdasarkan beberapa parameter dibawah ini:

1. Menarik.
Masalah yang menarik membuat kita termotivasi untuk melakukan penelitian dengan serius.
2. Bermanfaat.
Penelitian harus membawa manfaat baik untuk ilmu pengetahuan maupun peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia. Penelitian juga diharapakan membawa manfaat bagi masyarakat dalam skala besar (secara nasional maupun internasional), maupun secara khusus di komunitas kita (kampus, sekolah, kelurahan, dsb). Hindari penelitian yang tidak membawa manfaat kepada masyarakat.

1. Hal Yang Baru.

Ini hal yang cukup penting dalam penelitian, bahwa penelitian yang kita lakukan adalah hal baru, solusi yang kita berikan adalah solusi baru yang apabila kita komparasi dengan solusi lain, bisa dikatakan lebih efektif, murah, cepat, dsb. Bisa juga pembaharuan ini diwujudkan dengan perbaikan dari sistem dan mekanisme kerja yang sudah ada. Hindari redundant research, meneliti hal yang sama persis dengan yang dilakukan oleh orang lain. Karena hal tersebut termasuk plagiasi skripsi.

1. Dapat Diuji (Diukur).

Ini biasanya hal yang terlupakan, supaya proses penelitian kita sempurna, masalah penelitian beserta variabel-variablenya harus merupakan sesuatu yang bisa diuji dan diukur secara empiris. Kalau kita melakukan penelitian korelasi, maka korelasi antara beberapa variabel yang kita teliti juga harus diuji secara ilmiah dengan beberapa parameter.

1. Dapat Dilaksanakan.

Hal ini juga merupakan faktor penting. Masalah yang bagus dan berkualitas,menjadi lucu dan naif kalau akhirnya secara teknik penelitian tidak bisa dilakukan. Dapat dilakukan ini berkaitan erat dengan keahlian, ketersediaan data, kecukupan waktu dan dana.

1. Merupakan Masalah Yang Penting.

Hal ini sedikit sulit mengukurnya, tapi paling tidak ada gambaran di kita bahwa jangan sampai melakukan penelitian terhadap suatu masalah yang tidak penting.

1. Tidak Melanggar Etika.

Yang terakhir adalah masalah etika. Penelitian harus dilakukan dengan kejujuran metodologi, prosedur harus dijelaskan kepada obyek penelitian, tidak melanggar privacy, publikasi harus dengan persetujuan obyek penelitian, tidak boleh melakukan penipuan dalam pengambilan data maupun pengolahan data.[7]

D. Pembatasan Masalah

Disamping peneliti memiliki keterbatasan dari berbagai segi (biaya, waktu, kemampuan, dan dukungan lainnya), penelitian juga membutuhkan kedalaman dan ketajaman analisis (sempit/ fokus dan mendalam), sehingga penelitian harus dibatasi pada aspek-aspek pertanyaan penelitian yang memungkinkan. Misalnya identifikasi masalah mengandung 5 pertanyaan, peneliti dapat menentukantiga atau lebih pertanyaan yang dijadikan masalah penelitian.[8]

Kemudian, agar penelitian mengarah pada inti masalah yang sesungguhnya maka peneliti perlu membatasi masalah dengan memperhatikan hal yang paling bermanfaat jika diteliti.Supaya pilihan masalah didasari dengan pertimbangan yang matang maka sebaiknya memilih topik yang sesuai dengan bidang pekerjaan dan latar belakang pendidikan serta kompetensi yang dimiliki.

Faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah ruang lingkup penelitian supaya tidak terlalu luas sehingga mudah dilakukan. Masalah dapat dipecahkan sendiei, tersedia sumber teori atau peraturan yang mendasarinya. Hal penting lain untuk dipertimbangkan adalah hasil penelitian berpotensi untuk memperbaiki pelaksanaan pekerjaan, data-data dapat diperoleh dari pelaksanaan tugas, penelitian dapat dilakukan secara mandiri sesuai dengan waktu dan biaya yang tersedia.[9]

E. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian disebut research problem atau dikenal juga dengan istilah pertanyaan penelitian (research question) yang digunakan untuk menjadi panduan dalam menyusun instrument penelitian. Pertnyaan research problem ini disusun setelah peneliti melakukan pembatasan masalah, sehingga pertanyaan penelitian terfokus pada masalah yang iongin dibuktikan atau diteliti lebih lanjut.

Ada beberapa persyaratan dalam menyusun research problem:

1. Pertanyaan harus sesuai dengan metode penelitian yang digunakan (pada penelitian kuantitatif biasanya menggunakan kalimat Tanya apakah, seberapa besar, dan lain-lain yang berorientasi hasil, sedangkan pada penelitian kualitatif biasanya menggunakan kalimat Tanya bagaimana, mengapa, dan lain-lain yang berorientasi pada proses).

2. Pertanyaan harus layak dan dapat diteliti sebagai upaya untuk mencari jawaban/ solusi (feasible).

3. Jawaban bersifat critical incidence artinya dapat member kontribusi bagi pengembangan ilmu (minimal bagi peneliti).

4. Bisa diukur, bersifat konseptual (ada teori yang dapat dijadikan acuan), sehingga dapat diukur (measurable) dan mudah dilaksanakan (manageable).[10]

Berdasarkan level of explanation suatu gejala, maka secara umum terdapat tiga bentuk rumusan masalah yaitu rumusan masalah deskriptif, komparatif, dan asosiatif.

1. Rumusan masalah deskriptif adalah suatu rumusan masalah yang memandu peneliti untuk mengungkapkan atau memotret situasi social yang akan diteliti secara menyeluruh, luas, dan mendalam.

2. Rumusan masalah komparatif adalah rumusan masalah yang memandu peneliti untuk membandingkan antara konteks social atau domain satu dibandingkan dengan yang lain.

3. Rumusan masalah asosiatif aatau hubungan adalah rumusan masalah yang memandu peneliti untuk mengkonstruksi hubungan antara situasi social atau domain satu dengan yang lainnya. Rumusan masalah asosiatif I dibagi menjadi tiga yaitu hubungan simetris, kausal, dan reciprocal atau interaktif. Hubungan simetris adalah hubungan suatu gejala yang munculnya bersamaan sehingga bukan meupakan hubungan sebab akibat atau interaktif. Hubungan kausal adalah hubungan yang bersifat sebab dan akibat. Selanjutnya, hunbungan reciprocal adalah hubungan yang saling mempengaruhi. Dalam penelitian kualitatif hubungan yang diamati atau ditemukann adalah hubungan yang bersifat reciprocal atau interaktif.

Dalam penelitian kuantitatif, ketiga rumusan masalah tersebut terkait dngan variabel penelitian, sehingga rumusan masalah penelitian sangat spesifik, dan akan digunakan sebagai panduan bagi peneliti untuk menentukan landasan teori, hipotesis, instrument, dan teknik analisa data.

Dalam penelitian kualitatif, rumusan masalah yang merupakan focus penelitian masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti masuk alapangan atau situasi social tertentu. Namun demikian setiap peneliti baik peneliti kuantitatif maupun kualitatif harus membuat rumusan masalah. Pertanyaan penelitian kualitatif dirumuskan dengan maksud untuk memahami gejala yang kompleks dalam kaitannya dengan aspek-aspek lain (in context). Peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif, pada tahap awal penelitiannya, kemungkinan belum memiliki gambaran yang jelas tentang aspek-aspek masalah yang akan ditelitinya. Ia akan mengembangkan focus penelitian sambil mengumpulkan data. Proses seperti ini disebut ”emergent design” .[11]

Dalam penelitian kualitatif, Pertanyaan penelitian kualitatif tidak dirumuskan atas dasar definisi operasional dari suatu variabel penelitian. Pertanyaan penelitian kualitatif dirumuskan dengan maksud untuk memahami gejala yang kompleks dalam kaitannya dengan aspek-aspek lain (in context).

Berikut ini beberapa contoh rumusan masalahdalam proposal penelitian tantang suatu peristiwa.

1. Apakah peristiwa yang terjadi dalam situasi social atau seting tertentu? (rumusan masalah deskriptif)

2. Apakah makna peristiwa itu bagi orang-orang yang ada pada setting itu? (rumusan masalah deskriptif)

3. Apakah peristiwa itu diorganisir dalam pola-pola organisasi social tertentu? (rumusan masalah asosiatif/ hubungan yang akan menemukan pola organisasi dari suatu kejadian)

4. Apakah peristiwa itu berhubungan dengan peristiwa lain dalam situasi social yang sama atau situasi social lain? (rumusan masalah asosiatif)

5. Apakah peristiwa itu sama atau berbeda dengan peristiwa lain? (rumusan masalah komparatif)[12]

BAB III. KESIMPULAN

Menentukan masalah penelitian merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam penelitian ilmiah, dan menjadi pusat perhatian dalam penyusunan proposal penelitian. Masalah yang akan digarap dan dipecahkan dalam penelitian pada umumnya berupa sesuatu yang ideal. Namun perlu diperhatikan bahwa ídealnya suatu masalah yang dipilih harus diikuti dengan pendekatan yang paling tepat, memiliki peluang berhasil paling tinggi, dan sedapat mungkin paling sederhana agar kepastian untuk dapat menyelesaikan tugas dalam mencari jawaban atas masalah tersebut dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

1. Maksum Mukhtar. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Cirebon : STAIN Cirebon, 2007.

2. Romi Satria Wahono.http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Teknik%20Identifikasi% 20Masalah%20dalam%20Penelitian&&nomorurut_artikel=200. Tanggal 2008-10-07 pukul 15:4.

3. Admin, http://gurupembaharu.com/home/?p=247, diakses 29 september 2010 pukul 18.35.

4. Lincoln, Yovana S; Guba, egon; Naturalictic Inquiry, Sage Publication, Beverly hills, Londaon, 1984.

5. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta, 2005.

6. http://125.161.190.253/materi/MODUL-1.doc, diakes pada 29 september 2010

7. Toto Syatori Nasehuddien. Metodologi Penelitian (Sebuah Pengantar). Cirebon : STAIN Cirebon, 2008.

[1] http://125.161.190.253/materi/MODUL-1.doc, diakes pada 29 september 2010

[2] Toto Syatori Nasehuddien. Metodologi Penelitian (Sebuah Pengantar). Cirebon : STAIN Cirebon, 2008, hal 28.

[3] ibid

[4] Ibid, hal. 29

[5] Maksum Mukhtar. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Cirebon : STAIN Cirebon, 2007, hal 46.

[6] Maksum Mukhtar. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Cirebon : STAIN Cirebon, 2007, hal 47.

[7] Romi Satria Wahono.http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Teknik%20Identifikasi% 20Masalah%20dalam%20Penelitian&&nomorurut_artikel=200. Tanggal 2008-10-07 pukul 15:4.

[8] Maksum Mukhtar. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Cirebon : STAIN Cirebon, 2007, hal 47.

[9]Admin, http://gurupembaharu.com/home/?p=247, diakses 29 september 2010 pukul 18.35.

[10] Maksum Mukhtar. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Cirebon : STAIN Cirebon, 2007, hal 47.

[11][11][11] Lincoln, Yovana S; Guba, egon; Naturalictic Inquiry, Sage Publication, Beverly hills, Londaon, 1984, hal. 102

[12] Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta, 2005, hal. 35

Senin, 03 Oktober 2011

maslaah dalam penelitian

Merumuskan masalah merupakan pekerjaan yang rumit dan sulit bagi setiap peneliti. Merumuskan judul dan masalah merupakan pengetahuan yang luas dan terpadu mengenai teori-teori dan hasil-hasil penelitian para ahli terdahulu dalam bidang –bidang yang terkait dengan masalah-masalah yang akan diteliti.

Perumusan masalah merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis nantinya, dan dari rumusan masalah dapat menghasilkan topik penelitian dan judul penelitian.

Masalah sebenarnya adalah hal pertama yang dipikirkan oleh peneliti-peneliti ketika merencanakan proyek penelitian. Walaupun di atas kertas, yang pertama muncul adalah judul dan pendahuluan, tetapi yang lebih dahulu timbul pada penelitian adalah masalah penelitian.

Membuat masalah penelitian merupakan hal yang sukar, antara lain karena:
1. Tidak semua masalah dilapangan dapat di uji secara empiris.
2. Tidak ada pengetahuan atau tidak diketahui sumber atau tempat mencari masalah-masalah.
3. Kadang kala si peneliti dihadapkan kepada banyak sekali masalah penelitian, dan sang peneliti tidak dapat memilih masalah mana yang lebih baik untuk dipecahkan.
4. Adakalanya masalah cukup menarik, tetapi data yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut sukar diperoleh.
5. Peneliti tidak tahu kegunaan spesifik yang ada di kepalanya dalam memilih masalah.

Rumusan masalah penelitian mempunyai beberapa syarat:
1. Dikemukakan dalam kalimat tanya (interogatif); rumusan dalam kalimat tanya sangat dianjurkan, karena dapat lebih bersifat khas dan tajam.
2. Rumusan hendaknya bersifat khas, tidak bermakna ganda. Suatu pertanyaan penelitian; Bagaimanakah pengaruh pemberian obat A pada fungsi ventrikel kiri? Tidak bersifat khas, karena fungsi ventrikel kiri dapat dilihat dari pelbagai segi. Pertanyaan penelitian; Apakah pemberian obat berhubungan dengan peningkatan curah jantung? Lebih bersifat khas dan tidak dapat ditafsirkan lain.
3. Bila terdapat banyak pertanyaan penelitian, maka harus ditanyakan secara terpisah. Contoh penggabungan pertanyaan penelitian ini sulit untuk dijawab dengan satu uji hipotesis. “Apakah pemberian kalium intravena akan menurunkan tekanan darah, menaikkan frekuensi nadi, dan tidak berpengaruh pada penampilan miokardium? Penguraian pertanyaan tersebut menjadi tiga pertanyaan terpisah akan lebih mudah dimengerti, yang masing-masing dapat diuji dengan uji hipotesis yang sesuai secara terpisah.
4. Rumusan hendaklah padat dan jelas.
5. Rumusan masalah harus berisi implikasi adanya data untuk memecahkan masalah.
6. Perumusan masalah haruslah dibatasi lingkupnya, sehingga memungkinkan penarikan simpulan yang tegas. Kalau disertai rumusan masalah yang bersifat umum, hendaknya disertai penjabaran-penjabaran yang spesifik dan poerasional.

Pada umumnya rumusan masalah diawali dengan kalimat sebagai berikut:
a. Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Atau:
b. Uraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas memberi dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut:

Atau:
c. Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Contoh
a. Apakah bayi yang lahir dari wanita yang suaminya merokok mempunyai berat lahir yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lahir dari wanita yang suaminya bukan perokok?
b. Apakah penambahan obat A pada regimen standar berhubungan dengan penurunan angka kematian pasien meningitis tuberkulosa?
c. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan tingkat keberhasilan program keluarga berencana di suatu daerah urban?
http://bidanshop.blogspot.com/2010/01/membuat-rumusan-masalah-dalam.html
Secara umum (Notoadmojo)
Suatu kesenjangan (gap) antara apa yang seharusnya dengan apa yang terjadi tentang suatu hal, atau antara kenyataan yang ada atau terjadi dengan yang seharusnya ada atau terjadi serta harapan dan kenyataan.

Pada Hakikatnya masalah penelitian kebidanan adalah:
Segala bentuk pertanyaan yang perlu dicari jawabannya, atau segala bentuk rintangan dan hambatan atau kesulitan yang muncul pada bidang kebidanan.

Syarat masalah dapat diangkat menjadi masalah penelitian
FINER
1. Feasible
Tersedia subjek, dana, waktu, alat dan keahlian
2. Interisting
Menarik bagi peneliti
3. Novel (memberi nilai baru)
Membantah/mengkonfirmasi penemuan terdahulu. Melengkapi, mengembangkan hasil penelitian terdahulu, menemukan sesuatu yang baru.
1. Ethical
Tidak bertentangan dengan Etika
5. Relevan
Bagi ilmu pengetahuan, tata laksana pasien, sebagai dasar penelitian selanjutnya.

Kepekaan terhadap masalah penelitian
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yi:
1. Profesi
Profesi atau bidang pekerjaan seseorang dapat menjadi sumber minat untuk melakukan penelitian
Contoh: bidan yang bekerja di klinik akan lebih menyukai dan tertarik meneliti tentang kejadian yang sering dialami, misalnya: pemeriksaan kehamilan, persalinan, dll.
2. Spesialisasi
Keahlian khusus seseorang akan menyebabkan orang tersebut lebih peka terhadap masalah yang berkaitan dengan keahliannya.
Contoh: bidan yang selalu menolong persalinan, pasti dapat mengetahui lebih dalam tentang fisiologi dan patologi ibu bersalin. Sehingga dapat diidentifikasi masalahnya.
3. Akademis
Jenjang pendidikan berpengaruh terhadap terhadap kajian masalah yang diambil. Semakin tinggi jenjang pendidikannya maka semakin dalam kajian masalahnya.
4. Pengalaman lapangan
Seseorang yang mempunyai banyak pengalaman lapangan akan menambah kepekaannya terhadap masalah di bidangnya.
Contoh: Bidan yang sudah bekerja selama puluhan tahun di klinik, pasti menemukan banyak kesenjangan antara teori dan fakta di lapangan.
5. Bahan bacaan atau kepustakaan
Membaca dapat meningkatkan wawasan seseorang dan menambah pengetahuan sehingga pola berpikir kritisnya akan semakin berkembang
6. Diskusi ilmiah
Diskusi ilmiah juga dapat meningkatkan kepekaan terhadap persoalan yang ada.
Contoh: diskusi antara mahasiswi kebidanan dengan bidan berpengalaman atau dosen kebidanan sehingga dapat diperoleh masalah

Referensi
1. Pratiknya, 2000, Dasar-dasar Metodologi Penelitian dan Kesehatan, Jakarta, Raja Grapindo Persada.
2. Arjatmo Tjokro, 1999, Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran, Jakarta, FKUI.
3. Sokidjo Notoatmojo, 1993, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, Rineka
http://bidanshop.blogspot.com/2010/09/pengertian-masalah-penelitian.html
Pembuatan Masalah Penelitian
Pembuatan masalah penelitian dimulai dengan memilih masalah penelitian. Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam memilih sebuah masalah penelitian.
Pertama, masalah dibuat berdasarkan atas masalah sosial yang ada di dalam kehidupan sehari-hari, yang dilihat dan dirasakan sebagai sebuah masalah oleh para warga masyarakat, yang kemudian diangkat sebagai sebuah masalah konseptual (contoh : Kurangnya Pengaruh Kontrol Orang Tua Terhadap Tingkat Kenakalan Remaja di Jakarta).
Kedua, masalah penelitian dapat dibuat berdasarkan atas memperhubungkan kaitan antara satu konsep dengan konsep-konsep lain, yang menuntut dibuatnya penjelasan mengenai hakekat dari kaitan hubungan-hubungan yang diakibatkannya, dan menuntut adanya pembuktian mengenai kebenaran hakekat (teori atau hipotesis) tersebut berdasarkan atas bukti-bukti empirik yang secara obyektif dan ilmiah dapat dipertanggung-jawabkan (contoh: Hubungan Kekerabatan, Hubungan Kerja, dan Keberhasilan Bisnis Keluarga). Dari hasil pemilihan masalah seperti tersebut di atas, yang dihasilkan belumlah berbentuk sebuah masalah penelitian, tetapi baru sebuah Pernyataan Maksud Penelitian atau statement of intent.
Tahap selanjutnya yang harus dilakukan untuk membuat sebuah masalah penelitian adalah mengolah pernyataan maksud penelitian yang telah dibuat melalui tahap-tahap berikut ini.
1. Membaca, menyeleksi, dan memperdalam konsep-konsep yang relevan dengan masalah penelitian yang dipilih.
2. Membaca dan menyeleksi hasil-hasil penelitian yang relevan dengan masalah penelitian yang telah dipilih dan secara terseleksi menggunakan penemuan-penemuan yang telah dihasilkan berbagai penelitian terdahulu; baik mengenai tesis atau teorinya, maupun mengenai datanya yang relevan kegunaannya bagi masalah penelitian tersebut.
3. Membuat hipotesis, yaitu memperlakukan masalah penelitian yang telah dipilih itu sebagai terdiri atas satuan-satuan variabel yang hubungan sebab akibat di antara variabel-variabel tersebut menghasilkan hipotesis atau teori yang perlu dibuktikan kebenarannya.
4. Membaca dan mempelajari wilayah-wilayah masyarakat dan kebudayaannya untuk diseleksi dan dijadikan sasaran penelitian (sebagai kasus) untuk pembuktian kebenaran hipotesis yang telah dibuat.
http://leoriset.blogspot.com/2009/02/pembuatan-masalah-penelitian.html

Selasa, 13 September 2011

PMII & sejarahnya

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).

Sejarah

[sunting]Latar belakang pembentukan PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
Pisahnya NU dari Masyumi.
Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU. Serta Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.
[sunting]Organisasi-organisasi pendahulu
Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.
[sunting]Konferensi Besar IPNU
Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
A. Khalid Mawardi (Jakarta)
M. Said Budairy (Jakarta)
M. Sobich Ubaid (Jakarta)
Makmun Syukri (Bandung)
Hilman (Bandung)
Ismail Makki (Yogyakarta)
Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
Laily Mansyur (Surakarta)
Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
Hizbulloh Huda (Surabaya)
M. Kholid Narbuko (Malang)
Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.
[sunting]Deklarasi
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.
[sunting]Independensi PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan organisasi induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.
[sunting]Makna Filosofis

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.

Selasa, 16 Agustus 2011

Bangsa Kita Tak Pede Lagi

Sujiwo Tejo:
Sebagai bangsa kita sudah kehilangan rasa percaya diri (pede). Dan, ujar Sujiwo Tejo, dalang, penulis, pelukis, sutradara, aktor, dan pemusik, dalam perbincangan dengan Suara Merdeka, Jumat (12/8), kita pun sudah kehilangan kepercayaan pada para tokoh di negeri ini. Akhirnya, negeri ini pun kehilangan kedaulatan,baik secara politik, ekonomi, maupun kultural.

Kenapa kini kita tak berdaulat secara ekonomi, kultural, dan politik?

Karena kita tak percaya lagi pada para tokoh di negeri ini. Nah, ketika kita tak percaya lagi pada para tokoh itu, tiba-tiba seperti dipaksa terus dan harus percaya pada mereka. Meski kita semua tahu, tak ada tokoh yang bisa dipercaya lagi.

Contoh terkini kasus Nazaruddin. Banyak tokoh di negeri ini, juga Presiden, mengatakan sebaiknya kasus Nazaruddin diserahkan ke jalur hukum. Namun siapa percaya sistem hukum di Indonesia saat ini dapat berjalan baik dan adil? Siapa mampu menjamin kasus hukum Nazaruddin tidak dipermainkan sedemikian rupa? Sebagian tokoh menyatakan alangkah baik Nazaruddin diserahkan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), karena lebih terjamin keobjektifannya. Siapa bisa menjamin tak terjadi kecurangan di sana?

Itulah faktanya. Dan kita sedang berada dan melewati masa ketidakpercayaan pada para tokoh negeri ini, entah sampai kapan.

Mungkin kalau kita komparasikan dengan dunia anak-anak, Indonesia saat ini nggreges-nggreges atau demam. Kalau itu bisa kita lewati, kemungkinan besar Indonesia menjadi dewasa. Selain itu, ada paradigma bernegara yang keliru di negeri ini. Sebagaimana dikatakan penyair AS yang dikutip Presiden John F. Kennedy, “Jangan pernah tanyakan kepada negara apa yang telah negara berikan kepadamu, tetapi tanyakanlah pada dirimu apa yang telah engkau berikan kepada negara.” Paradigma itu sangat keliru. Seharusnya ungkapan itu dibalik, “Apa yang bisa diberikan negara kepada kita sebagai warga bangsa.” Jadi pemimpin tak akan leha-leha, kemudian berlindung di balik ungkapan itu, sementara mereka tak melakukan apa-apa. Apa gunanya negara kalau tak mampu memberikan apa-apa pada warga negaranya?

Contoh sederhana, ketika masyarakat harus mengenakan helm ketika berkendaraan di jalan raya. Apa dasarnya harus memakai helm? Supaya kalau kecelakaan, tidak celaka dan tidak mati di jalan. Namun kalau tidak mati di jalan, apakah negara memberikan sesuatu? Kalau tidak mati di jalan, negara mau apa? Apakah negara memberikan jaminan kesehatan? Pendidikan gratis? Perlindungan mendasar? Memenuhi kebutuhan pokok? Toh kalaupun mati di jalan, kita sendiri yang mengurusi semua tetek-bengek. Berarti ada yang salah dengan UU Lalu Lintas.

Apa variabel determinan yang menyebabkan ketidakberdaulatan kita?

Rasa rendah diri! Itulah yang aku ajukan sebagai syarat untuk calon presiden mendatang, yakni rasa percaya diri. Itu urutan pertama. Bukan riwayat pernah korupsi atau tidak. Kalau syarat belum pernah korupsi diajukan, tak ada orang bebas korupsi di negeri ini. Yang utama tetaplah rasa percaya diri atau jangan pernah sekalipun punya riwayat minder. Mengapa minder lekat dengan bangsa Indonesia? Karena para tokoh dan pengajar di negeri ini, juga kita secara umum, lebih senang menceritakan dan mengunggulkan bangsa lain daripada bangsa sendiri. Contohnya, kita lebih gemar bercerita tentang etos kerja bangsa China, Jepang, Korea, Amerika, dan Eropa. Kita nyaris tak pernah bercerita tentang Soekarno, yang sejak mula selalu mengatakan dengan lantang, “Berdiri di atas kaki sendiri!” Jadi sepemahaman saya, hanya Bung Karno yang tak punya riwayat minder. Anda bisa lihat bagaimana pembelaannya ketika ditahan di Bandung berjudul “Indonesia Menggugat”, tidak ada sedikit pun keminderan terbaca di sana. Beda, misalnya, dari kasus Richard Gere yang baru-baru ini mampir ke Indonesia. Seorang pembawa acara stasiun TV mengatakan, “Kita beruntung karena kedatangan Richard Gere ke Candi Borobudur, jadi pariwisata Indonesia makin dikenal di dunia internasional dan bla-bla-bla.” Seharusnya, pemikiran minder itu dibalik, “Richard Gere beruntung karena berhasil mendatangi Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia.” Atau, bagaimana banyak instansi di negeri ini gemar meng-hire para pekerja asing, dengan harapan ketika para pekerja asing itu melakukan negosiasi bisnis dengan pejabat negara, pejabat negara minder.

Contohlah Agus Salim, yang meski senantiasa makan dengan tangan, dalam setiap perjanjian di luar negeri selalu memenangkan Indonesia. Karena itu, kerendahdirian harus kita buang jauh-jauh.

Apakah itu berkait dengan kemungkinan kehilangan daya hidup, etos kerja, dan kreativitas kita sebagai bangsa?

Sejatinya kita bangsa yang kreatif. Lihatlah anak-anak kita yang telah menemukan energi surya. Anak SMP di berbagai tempat yang memenangi berbagai olimpiade fisika, matematika, dan olimpiade keilmuan lain di tingkat dunia. Atau, bagaimana anak-anak di Pasuruan bisa menjadi nomor satu dalam tanding ilmu pasti. Intinya, banyak potensi di negeri ini, banyak ahli komputer yang tak tertandingi. Etos kerja kita sangat punya, hanya masalahnya etos kerja itu tidak disebut oleh orang kita sendiri. Karena, kita berkecenderungan lebih gemar menyebut etos kerja orang Jerman, Jepang, Korea.

Seharusnya kita, juga para guru-guru, bercerita betapa hebat etos kerja para petani Indonesia, yang harus bangun subuh untuk pergi ke sawah dan ketika matahari terbit para istri berdatangan ke sawah membawa sarapan untuk para suami. Bagaimana para nelayan mempunyai ketabahan dan keberanian sangat luar biasa. Meski harga solar melambung tinggi, mereka tetap melaut, meski tangkapan tidak pasti dan bisa saja mati tertelan ombak bersama perahu. Atau, bagaimana pedagang di pasar-pasar tradisional itu pada pagi-pagi buta bergelantungan di mobil bak terbuka. Melanjutkan mimpi di atas tumpukan sayur yang hendak dijual di pasar atau di mana pun. Apakah kita tidak bangga dengan etos kerja sedemikian luar biasa itu? Atau bagaimana para mbok itu dengan barang dagangan di pinggul yang melebihi berat tubuhnya berjalan berkilometer-kilometer demi keuntungan tak seberapa, tetapi semua itu mereka lakukan secara sukacita.

Pokok ceritanya, kita lebih gemar menyebut bangsa lain dari pada melihat diri sendiri. Itulah yang berdampak terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan budaya. Politik kita sudah tak percaya pada para pelakunya, budaya kita sudah tak percaya pada diri sendiri. Secara ekonomi, kita lebih suka mengimpor produk dari mancanegara daripada berproduksi sendiri. Karena untuk memproduksi, biaya dan kendalanya jauh lebih tinggi daripada sekadar mengimpor. Contoh konkret, akhirnya kita mendatangkan film Harry Potter and Deathly Hollow Part 2, padahal masih ada yang mengemplang pajak film. Kenapa kita takut tidak dapat menonton film impor itu? Bukankah masih ada Riri Riza, Hanung Bramantyo, dan sutradara-sutradara bagus yang lain?

Ke manakah kecenderungan hidup kita sebagai bangsa, makin kohesif-integral atau justru makin tak berkepastian?

Ketakberkepastian itu mengemuka, karena kita melupakan spirit sebagai bangsa, sebagaimana dulu Bung Karno mampu menggalang negara-negara Asia-Afrika. Spirit seperti yang ditunjukkan dalam marhaenisme; bukan partainya. Itulah yang kita butuhkan sekarang. Karena sebagaimana kita harapkan, kalau negara tak mampu dan bisa memberikan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, minimal paling tidak memberikan perlindungan, rasa aman, dan keadilan. Tapi sekarang bahkan rasa aman yang paling mendasar pun sudah tak ada. Itu ditunjukkan dengan bukti, agama mayoritas di negeri ini bisa berperilaku seenaknya sebagaimana terlihat dalam kasus Cikeusik. Kalau kepastian rasa aman sudah tidak ada, buat apa kita bernegara?

Apa penyebab semua itu?

Rasa minder itu! Output-nya ketidakpastian. Seperti sistem negara kita yang presidensiil dan parlementer. Kenapa kita tidak kembali ke Pancasila, sila kelima. Siapa tahu dengan begitu kita mempunyai sistem pemerintahan sendiri, karena sistem demokrasi presidensiil dan parlementer tidak cocok bagi sistem demokrasi kita. Meski bukan berarti kita kembali ke sistem musyawarah mufakat seperti zaman Soeharto dulu. Sistem saat ini terbukti menimbulkan suasana ketidakpastian. Bagaimana kita bisa merespons suasana kemerdekaan seperti sekarang, jika dalam kondisi penuh ketidakpastian.

Karena itu saya setuju NKRI menjadi harga mati, tetapi dengan syarat: pemerintah serius mengurusi negara. La ini, semua mikir partai masing-masing. Gimana mau NKRI?

Karena itu kita semua, terutama para tokoh, harus berpikir konsisten. Kalau mau nasionalisme ya nasionalisme, kalau globalisme ya globalisme. Jangan seperti sekarang, ketika salah satu tokoh bisa dengan enak mengatakan, “Kantongi saja nasionalismemu,” dengan lebih mengutamakan globalisasi atau internasionalisme, dengan dasar nasionalisme sudah mati. Terbukti, terlalu banyak pekerja asing di negeri ini, sebagaimana negeri ini banyak mengekspor pekerja ke luar negeri. Kalau nasionalisme tak mampu, globalisasi tak bisa, mending kita jadi provinsi ke-51 Amerika Serikat.

Sekarang teori dan praksis bertolak belakang. Sejak kecil kita diajari ekonomi koperasi, tapi pernahkah Anda menjumpai gedung pencakar langit di jalan utama di Jakarta dimiliki koperasi? Saya bayangkan jika klub-klub sepakbola dimiliki koperasi, keuntungan untuk anggota.

Jadi Indonesia harus bagaimana?

Harus ada revolusi pemikiran, mindset revolution. Dan, yang mengawali adalah pemimpin karena dia mengambil sekitar 80 persen peran penting revolusi itu, sementara masyarakat hanya sekitar 20 persen.

Senin, 18 Juli 2011

Jenderal yang Paling Ditakuti Gus Dur Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah seorang tokoh yang sangat pemberani. Gus Dur tidak pernah takut kepada siapa pun, termasuk kepada polisi. Bahkan kepada Jenderal-nya sekalipun. Hal ini pernah dibuktikan dengan permintaan Gus Dur agar Jenderal Surojo Bimantoro (Kapolri) mengundurkan diri.

Namun rupanya, seberani apa pun seorang Gus Dur, tetap saja ada satu Jenderal yang ditakutinya. Ketakutan pada Jenderal ini pernah diungkapkan Gus Dur seusai sebuah konferensi pers. Yakni Gus Dur dipapah memasuki mobil dan para wartawan tidak lagi mengerubutinya.

Sebelum Menutup pintu mobilnya, sambil setengah berbisik Gus Dur kembali memanggil para wartawan, "Hei, saya masih punya satu informasi lagi. Kalian mau tidak ?"

"Apa itu Gus ?" tanya para wartawan sembari serentak mengerubuiti Gusdur Kembali di pintu mobilnya yang masih setengah terbuka.

"Saya mau sebutkan nama seorang Jenderal yang paling berbahaya dan berpotensi mematikan siapa saja. Jenderal ini ditakuti oleh siapa saja, jadi kalian harus berhati-hati kepada jenderal yang satu ini," ujar Gus Dur dengan mimik serius.

"Wah, siapa itu Gus ?" sambut para wartawan sambil berebut menyorongkan alat perekamnya sedekat mungkin ke wajah Gus Dur. Mereka tampak sangat mendapatkan berita eksklusif itu.

"Ok, saya harus katakan," kata Gus Dur meyakinkan. "Jenderal itu adalah Jenderal..(General) Electric ..."

"Wooo kok itu sih Gus ?" protes para wartawan.

"Lha kalian ini, maunya bikin gosip melulu. Padahal kan saya kan bener. Bahwa General Electric itu paling berbahaya. Coba, mau nggak kamu kesetrum lampunya General Electric ? Berbahaya khan ?!, kamu bisa mati kan kalau kesetrum????"

"Huuuuuuuu," balas para wartawan serentak, sambil bersunggut-sunggut dan ngeloyor ke belakang. (min)

Lempar Jumrah

Seorang pejabat tinggi dengan posisi yang dikenal “basah” berangkat dengan mengikuti program haji plus yang ongkosnya tiga sampai empat kali lipat dari haji biasa. Berbagai proses diikuti, sampai akhirnya tibalah saatnya untuk melempar jumrah yang merupakan bagian dari manasik haji, yang disimbolkan melempar syaitan yang menjadi simbol kejahatan.

Acara lempar jumlah ini berlangsung dengan ramainya. Satu per satu batunya dilempar, tetapi entah darimana asalnya, terdapat sebuah batu terlempar mengenai tubuhnya. Segera saja, batu tersebut diambil, dilihatnya, dan didalamnya terdapat sebuah tulisan Arab. Buru-buru disimpannya,

“Ini pasti jimat” pikirnya.

Begitu sampai di Indonesia, dan acara seremoni di rumah selesai, ia segera mendatangi ulama yang sangat pandai berbahasa Arab. Ditanyakanlah apa arti kata-kata di batu yang selama ini membikin penasaran.

Segera saja, ulama, yang sudah berusia lanjut tersebut mengamati dengan teliti tulisan dibatu kecil tersebut sampai akhirnya ia membacakan artinya.

“Sesama syaitan dilarang saling melempar”

Rabu, 29 Juni 2011

أهل السنة والجماعة
أهل السنة والجماعة أو "معتقد أهل السنة" هي أكبر طائفة إسلامية. مصادر التشريع السني هي القرآن وسنة نبي الإسلام محمد المتمثلة في الأحاديث النبوية المنسوبة إليه، ويأخذون الفقه عن الأئمة الأربعة، ويقرون بصحة خلافة الخلفاء الأربعة الأوائل أبو بكر وعمر وعثمان وعلي، ويؤمنون بعدالة كل الصحابة.
يعتبر البعض أن أول موقف يمثل التوجه السني هو اختيار أبو بكر في السقيفة خليفة للمسلمين، حيث أن يؤمن المسلمين السنة بأفضلية أبو بكر، والخلفاء الثلاثة بعده على الترتيب، بالنص عن رسول الله في الإسلام محمد، فتكونت العقيدة السنية والتي تؤمن بالقرآن والسنة. وهذا الطرح يؤيده السنة أنفسهم، في حين يرى الشيعة الإمامية أن اختيار أبو بكر في السقيفة كان مخالفا لتعاليم النبي محمد، والتي هي حسب رأيهم إمامة علي بن أبي طالب للمسلمين والأئمة من نسله بعده. ويمكن القول أن الطائفة السنية تمايزت كطائفة إسلامية مستقلة في خلافة علي بن أبي طالب عن الخوارج. وعن فرق التشيع بعد صلح الحسن بن علي مع معاوية بن أبي سفيان، حيث تجنب أقطاب السنة الخوض في الخلاف بينهما، ومنهم ابن عمر وأنس بن مالك. ولكن لم يظهر الإنفصال الواضح بين السنة و الشيعة بعد. بل كان هناك حركة إنفصال تدريجية. وازدادت قوة هذه الحركة في زمن الدولة الأموية. حيث نشط بعض من الصحابة أو الفقهاء مثل أبو هريرة وحسان بن ثابت وأنس بن مالك وعبد الله بن عمر وكذلك فقهاء المدينة، ورووا الأحاديث التي وصلت إلى مرحلة التدوين المتفرق؛ كما في صحيفة همام بن منبه تلميذ أبو هريرة، وما دونه عروة بن الزبير وأبان بن عثمان بن عفان وغيرهم وتبنى هذه الفكرة أئمة الفقه الأربعة لأهل السنة فيما بعد كما يتضح من نقولاتهم من فقهاء المدينة، حيث اعتمدوا على الكتاب والسنة بشكل أساسي.[بحاجة لمصدر] وكان معاوية قد قرب إليه أبو هريرة وحسان وغيرهم ممن يقف في صفه،[بحاجة لمصدر] وعمر بن عبد العزيز قد رعى فقهاء المدينة ذوي العقيدة السنية. وفي نهاية العصر الأموي و بداية العباسي ظهر الإمام أبو حنيفة و تتلمذ الإمام مالك على يد ربيعة بن فروخ وهو أحد فقهاء المدينة السبعة. وكان الشيخان البخاري ومسلم اللذان جمعا الحديث يحتجان بربيعة. وغيرهم ممن جمعوا الحديث و تميزوا عن غيرهم ممن رفضوا الصحابة و خاضوا فيما وقع بينهم. و كان جمع الحديث في بداية الدولة العباسية الذين تميز في عهدهاالمدارس الأربعة التي أعتمدها العباسيون لا حقاً بشكل رسمي. بينما كانت الدعوة التي دعت بها عند خروجها على الأمويين لإمامة آل علي بن أبي طالب.[بحاجة لمصدر] بمعنى أن العباسيين سنة لأنهم أعتمدوا المدارس الأربعة للمذهب السني وشيعة لأنهم يدعون لآل البيت في نفس الوقت (حسب مفهوم عصرهم). بمعني ظهور التمايز الواضح و ليس التام بين المدارس السنية و بعض الفرق الشيعية في العصر العباسي.
تعود نشأة المذاهب الفقهية السنية إلى بداية الإسلام، وخاصة بعد وفاة محمد، حيث اجتهد صحابته وأتباعه والمسلمين عامة في تطبيق أقواله وأفعاله مع انتشار الإسلام وتوسعه وتعرضه للكثير من القضايا الجديدة الدينية والتشريعية كانت هناك حاجة ملحة للخروج باجتهادات لهذه القضايا الفقهية المستجدة وتلبية حاجات الناس والإجابة عن تساؤلاتهم ومن هنا نشأت جماعة من المتفقهين (العالمين) في الدين تعلم الناس في كل إقليم شؤون دينهم ودنياهم .إن التوسع الجغرافي للإسلام وتنوع البيئات التي انتشر بها، وأيضا قابلية الكثير من النصوص الشرعية الإسلامية للاجتهاد فيها حسب الظروف والحالات أديا إلى نشوء مدارس فقهية منتشرة في الأمصار الإسلامية، وأصبح لكل عالم فقيه أتباع يعملون على نشر فتاواه وحتى العمل ضمن القواعد التي يضعها لإصدار فتاوى جديدة .المذاهب الفقهية الأربعة التي انتشرت بشكل واسع عند اهل السنة وأصبحت رسمية في معظم كتبهم هي حسب ظهوره ;
أ‌. مذهب أبي حنيفة النعمان
ب‌. مذهب مالك بن أنس
ج. مذهب الشافعي
د. مذهب أحمد بن حنبل
وهذه المذاهب ما هي إلا مدارس فقهية، إتفقت في الأصول، وإختلفت في الفروع. ولا يوجد بينها اختلاف في العقيدة، كما أن هناك مذاهب فقهية أخرى غير هذه الأربع لكنها لم تنتشر ويحصل لها الاشتهار مثل هذه المذاهب الأربعة. ومنها على سبيل المثال: المذهب الظاهري ومذهب الأوزاعي ومذهب الليث بن سعد وغيرهم.
أصول الفقه لأهل السنة تقوم علي القرآن الكريم والسنة النبوية (حديث نبوي) والاجماع والقياس. السنة النبوية مجموعة في كتب السنة العشرة ومنها صحيحي البخاري ومسلم وكتب السنن الأربعة كسنن أبي داود وسنن النسائي والمسانيد كمسند أحمد بن حنبل وغيرها كمصدر للاعتقاد والتشريع. لذلك فإن كل ما ورد في القرآن هو شرع للمسلمين وكل ما صَحَّ من سنة محمد، وتختلف السلفية (وإن كان هؤلاء الأئمة أصحاب المذاهب هم من السلف) مع باقي أهل السنة هنا في الأخذ بالآحاد وإن كان الأشاعرة والماتريدية تأخذ بها في مسائل السمعيات أو إذا تضافرت الأدلة على صحتها.
فالمتصل ) ويقال له أيضا الموصول والمؤتصل بالفك والهمزة كما نقلها البيهقى عن الشافعى.
وأما أقوال التابعين اذا اتصلت الأسانيد اليهم فلا يسمونها متصلة قال العراقى فى حالة الااطلاق أما مع التقييد فجائز واقع فى كلامهم كقولهم هذا متصل الى سعيد بن المسيب أو الى الزهرى أو الى ملك.
وقد علمت مما قررنا أن للمصطفى متعلق بمحذوف هو كان وأن قوله يتصل اسناده متعلقه محذوف لا قوله للمصطفى لأن مطلق المتصل كما قال ابن الصلاح وغيره يقع على المرفوع والموقوف
(مسلسل) من الاحاديث قال ابن الصلاح من فضيلته اشتماله على مزيد الضبط من الرواة قال و خير المسلسلات ما كان فيه دلالة على اتصال السماع وعدم التدليس ولكن قلما يسلم المسلسل من ضعف يحصل فى و صفه لا فى اصل الحديث (قل) فى رسمه باعتبار الرواة هو (ما على وصف أتى) به رواته قولياكان الوصف (مثل اما والله أنبانى ) بالدرج (الفتى) ثم يقول الاخر مثل دلك وهو مقازب بل مماثل لحالهم القولى الممثل بقوله صلى الله عليه وسلم لمعاد انى احبك فقل فى دبر كل صلاة اللهم أعنى على دكرك وشكرك وحسن عبادتك فانه مسلسل بقول كل من الرواة وأنا أحبك فقل أو فعليا ومثلوه بالمسلسل بالقراء وبالحفاظ و بالمحمدين وبالفقهاء والناطم مثل له بقول ( كداك قد حدثنيه قائما ) ثم يفعل الاخر مثل دلك وهو القيام ( أو بعد أن حدثنى تبسما ) بالف الاطلاق فان القيام والتبسم وصف فعلى وأماالحال الفعلى فكقول ابى هريرة سبك بيدى ابو القاسم صلى الله عليه وسلم وقال حلق الله الأرض يوم السبت الحديث فانه مسلسل بتشبيك كل منهم بيد من رواه عنه وقد يجتمع الحال القولى والفعلى كما فى حديث أنس لا يجد العبد حلاوة الايمان حتى يؤمن بالقدر خيره وشره حلوه ومره قال وقبض رسول الله صلى الله عليه وسلم على لحيته وقال امنت بالقدرالخ فانه مسلسل بقبض كل منهم على لحيته مع قوله دلك ومن المسلسل ماتوارد فيه رواته على وصف سند بما يرجع الى التحمل اما فى صيغ الاداء كقول كل من رواته سمعت فلانا او نحوه كحدثنا او اخبرنا فلان فاتحد ما وقع لهم فصر الاحديث مسلسلا بل جعل الحاكم منه ان تكون الفاظ الاداء من جميع الرواته دالة على الاتصال وان اختلف فقال بعضهم سمعت وبعضهم اخبرنا وبعضهم حدثنا لكن الاكثر على اختصاصه بالتوارد فى صيغة واحدة واما فيما يتعلق بزمن الرواية كحدث ابن عباس شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد او بمكانها كالمسلسل باجابة الدعاء فى الملتزم او بتريخها ككون الراوى اخر من يروى عن شيخه
وانوع المسلسل لاتنحصر كما قال ابن الصلاح وتقسيم الحاكم له الى ثمانية انواع انما هى امثلة له ولم يرد الحصر كما فهمه ابن الصلاح عنه بل كلامه يؤدن بانه انما دكر من انواعه ما يدل على الاتصال وقد يقع التسلسل فى معظم الاسناد فقط كالمسلسل بالاولية فان المسلسلة منه تنتهى الى سفيان بن عيينة فقط قال فى النخبة ومن رواه مسلسلا ال منتهاه فقد وهم ونحوه قول شيخه العراقى وقد وقع لنا باسناد متصل الى اخره ولا يصح دلك قال الحافظ ابن حجر رحمه الله من اصح مسلسل يروى فى الدنيا المسلسل بقراءة سورة الصف

Minggu, 19 Juni 2011

Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah

Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pengukhususan Waktu

Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar'i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).

Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.

Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).

Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul Bari 3: hal. 84)

Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah dan direstui Nabi.

Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.

Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.

Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah dholalah.

Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat

Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.

Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:

1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: "Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.''(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.

2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.

3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka'bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.

4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: "apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.

5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit tark)

Dan Nabi bersabda:" Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:" dan tidaklah Tuhanmu lupa".(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya".(HR.Daruqutnhi)

Dan Allah berfirman:"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.

Maka dapat disimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!

Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada", peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. Al-Bayanul Qowim, hal.28)

Zarnuzi Ghufron
Ketua LMI-PCINU Yaman dan sekarang sedang belajar di Fakultas Syariah wal Qonun Univ Al-Ahgoff, Hadramaut, Yaman

Bid'ah

Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .

Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)

Sabtu, 11 Juni 2011

Antropologi Kampus

Seiring sang waktu mengarungi samudra takdir hingga kita sampai pada materi diskusi kali ini dengan tema Antropologi Kampus. Sebelum masuk kemateri bahasan kita pahami dulu definisi dari antropologi dan kampus itu sendiri sehingga nanti mudah-mudahan kita dapat memahami materi ini .
Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
• William A.haviland.”antropologi adl studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keaneragaman manusia.”
• David hunter “antropologi adl ilmu yang lahir dari kenginintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.”
• Koentjaraningrat “antropologi adl ilmu yang mempelajariumat manusia pada umumnya, dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyareakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keneragaman fisik serta kebudayaan(cara berprilaku ,tradisi, dan nilai-nilai)yang dihasilkan sehigga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Sedangkan kampus, Banyak orang yang masih mengartikan sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi yang merupakan wahana dan sarana belajar mengajar, pewarisan ilmu, dan pemberdayaan manusia, padahal disisi lain kampus adalah salah satu pusat yang telah melahirkan kompleksitas ide atau gagasan , aktivitas perilaku ,dan nilai-nilai insani manusia yang bersumber dari budinya.yang diramu dari pengetahuan dan pengalamannya. Kampus juga merupakan salah satu unsure kebudayaan.
Unsure-unsur dari nsuatu kebudayaan dalam artian disini adl budaya kampus kita tidak dapat dimasukkan kedalam budaya kampus lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu. Tetapi haruslah dingat budaya itu tidak selalu bersifat statis,ia selalu berubah. Tanpa adanya gangguan dari kebudayaan lain atu asing pun dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari luar akan ada individu-individu dalam kebuyaan itu sendiri yang akan memperkenalkan variasi –variasi baru dalam tingkah laku yang ahirnya akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari kebudayaan tersebut. Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan kebudayaan tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi trsebut,.
Apabila dilihat dari pengertian antropologi sendiri kemudian diterapkan dalam kehidupan kampus jelas artinya adlah tujuan kita mempelajari antropologi kampus agar kita mampu memahami tentang budaya-budaya kampus baik itu cara berperilaku, tradisi dan nilai-nilai dalam dunia kampus tersebut.
Suatu perubahan dalam kampus tidak akan terjadi apabila kita sebagi mahasiswa tidak mampu mengexplor segala kemampuan kita sebagai wujud tanggung jawab social sebagi mahasiswa.karena kampus hanyalah benda mati yang tidak akan berbuat pada diri kita apabila kita hanya terdiam tanpa berbuat apapun.
Dalam meyikapi semua itu ada bermacam macam tipe mahasiswa yang ada dalam dunia kampus yang sudah dijadikan budaya dan perilaku yang mana mereka mempuyai alas an-alasan mengapa berperilaku seperti itu , mahasiswa itu terbagi dalam kelompok antara lain sbg brikut:
1. akademis
2. agamis
3. apatis ( tidak mau tau )
4. hedonis (bersikap seenaknya sendiri)
5. kritis
dari pengelompokan diatas jelas semuanya ada secara berdampingan tingaal kita sendiri yang mampu menilai diposisi mana kita berada.

ABDULLAH BIN AL-MUBARAK

Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al-Marwazi lahir pada tahun 118 H/736 M. Ayahnya seorang Turki dan ibunya seorang Persia. Ia adalah seorang ahli Hadits yang terkemuka dan seorang zahid termasyhur. Abdullah bin Mubarak telah belajar di bawah bimbingan beberapa orang guru, baik yang berada di Merv maupun di tempat-tempat lainnya, dan ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain di dalam gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Ia meninggal dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181 H/797 M. Banyak karya-karyanya mengenai Hadits, salah satu di antaranya dengan tema "Zuhud masih dapat kita jumpai hingga waktu sekarang ini."

PERTAUBATAN ABDULLAH BlN MUBARAK

Abdullah bin Mubarak sedemikian tergila-gila kepada seorang gadis dan membuat ia terus-menerus dalam kegundahan. Suatu malam di musim dingin ia berdiri di bawah jendela kamar kekasihnya sampai pagi hari hanya karena ingin melihat kekasihnya itu walau untuk sekilas saja. Salju turun sepanjang malam itu. Ketika adzan Shubuh terdengar, ia masih mengira bahwa itu adalah adzan untuk shalat 'Isya. Sewaktu fajar menyingsing, barulah ia sadar betapa ia sedemikian terlena dalam merindukan kekasihnya itu. "Wahai putera Mubarak yang tak tahu malu!". Katanya kepada dirinya sendiri. "Di malam yang indah seperti ini engkau dapat tegak terpaku sampai pagi hari karena hasrat pribadimu. tetapi apabila seorang imam shalat membaca surah yang panjang engkau menjadi sangat gelisah."

Sejak saat itu hatinya sangat gundah. Kemudian ia bertaubat dan menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah. Sedemikian sempurna kebaktiannya kepada Allah sehingga pada suatu hari ketika ibunya memasuki taman, ia lihat anaknya tertidur di bawah rumpun mawar sementara seekor ular dengan bunga narkisus di mulutnya mengusir lalat yang hendak mengusiknya.

Setelah bertaubat itu Abdullah bin Mubarak meninggalkan kota Merv untuk beberapa lama menetap di Baghdad. Di kota inilah ia bergaul dengan tokoh-tokoh sufi. Dari Baghdad ia pergi ke Mekkah kemudian ke Merv. Penduduk Merv menyambut kedatangannya dengan hangat. Mereka kemudian mengorganisir kelas-kelas dan kelompok-kelompok studi. Pada masa itu sebagian penduduk beraliran Sunnah sedang sebagiannya lagi beraliran fiqh. Itulah sebabnya mengapa Abdullah disebut sebagai toko yang dapat diterima oleh kedua aliran itu. Ia mempunyai hubungan baik dengan kedua aliran tersebut dan masing-masing aliran itu mengakuinya sebagai anggota sendiri. Di kota Merv, Abdullah mendirikan dua buah sekolah tinggi, yang satu untuk golongan Sunnah dan satu lagi untuk golongan Fiqh. Kemudian ia berangkat ke Hijaz dan untuk kedua kalinya menetap di Mekkah.

Di kota ini ia mengisi tahun-tahun kehidupannya secara berselang-selang. Tahun pertama ia menunaikan ibadah haji dan pada tahun kedua ia pergi berperang, tahun ketiga ia berdagang. Keuntungan dari perdagangannya itu dibagikannya kepada para pengikutnya. la biasa membagi-bagikan kurma kepada orang-orang miskin kemudian menghitung biji buah kurma yang mereka makan, dan memberikan hadiah satu dirham untuk setiap biji kepada siapa di antara mereka yang paling banyak memakannya.

Abdullah sangat teliti dalam kesalehannya. Suatu ketika ia mampir di sebuah warung kemudian pergi shalat. Sementara itu kudanya yang berharga mahal menerobos ke dalam sebuah ladang gandum. Kuda itu lalu ditinggalkannya dan meneruskan perjalanan-nya dengan berjalan kaki. Mengenai hal ini Abdullah berkata: "Kudaku itu telah mengganyang gandum-gandum yang ada pemiliknya". Pada peristiwa lain, Abdullah melakukan perjalanan dari Merv ke Damaskus untuk mengembalikan sebuah pena yang dipinjamnya dan lupa mengembalikannya.

Suatu hari Abdullah melalui suatu tempat. Orang-orang mengatakan kepada seorang buta yang ada di situ bahwa Abdullah sedang melewati tempat itu. "Mintalah kepadanya segala sesuatu yang engkau butuhkan!" "Abdullah berhentilah!", orang buta itu berseru. Abdullah lalu berhenti. " Doakanlah kepada Allah untuk mengembalikan penglihatanku ini!", ia memohon kepada Abdullah. Abdullah menundukkan kepala lalu berdoa. Seketika itu juga orang buta itu dapat melihat kembali

Rabu, 08 Juni 2011

KHA WAHID HASYIM


Dari Pesantren untuk Bangsa
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, bertepatan dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian.

Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan MAtaram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.
t;
Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid, A. Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat putera, yakni Abdul Kadir, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub.

Mondok Hanya Beberapa Hari
Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai membaca al-Qur’an, dan bahkan sudah khatam al-Qur’an ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun, setamat dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak-anak seusianya.

Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Abdul Wahid mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik.

Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia di pesantren ini mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan Abdul Wahid hanyalah keberkatan dari sang guru, bukan ilmunya. Soal ilmu, demikian mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain, harus berhubungan dengan kyai. Inilah yang sepertinya menjadi pertimbangan utama dari Abdul Wahid ketika itu.

Sepulang dari Lirboyo, Abdul Wahid tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, toh Abdul Wahid bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Benar juga, selama berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan umum milik pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.

Menerapkan Sistem Madrasah ke Dalam Sistem Pesantren
Pada 1916, KH. Ma’sum, menantu KH. Hasyim Asy’ari, dengan dukungan Wahid Hasyim, memasukkan sistem Madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awwal dan siffir tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awwal dan siffir tsani diajarkan khusus bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan pendidikan umum, seperti bahasa Indonesia (Melayu), berhitung dan Ilmu Bumi. Pada 1926, KH. Mauhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari.

Pembaharuan pendidikan Pesantren Tebuireng yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari, berikut murid dan puteranya, bukan tanpa halangan. Pembaharuan pendidikan yang digagasnya menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari masyarakat dan kalangan pesantren, sehingga banyak juga orang tua santri memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain, karena dengan pembaharuan tersebut Pesantren Tebuireng dipandang sudah terlalu modern. Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.

Berangkat ke Mekkah
Pada tahun 1932, ketika menginjak usia 18 tahun, ia dikirim ke Mekkah, di samping untuk menunaikan rukun Islam kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya ke Mekkah ditemani oleh saudara sepupunya, Muhammad Ilyas, yang kelak menjadi Menteri Agama. Muhammad Ilyas memiliki jasa yang besar dalam membimbing Abdul Wahid sehingga tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Muhammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab, dan dialah yang mengajari Abdul Wahid bahasa Arab. Di tanah suci ia belajar selama dua tahun.

Dengan pengalaman pendidikan tersebut, tampak ia sebagai sosok yang memiliki bakat intelektual yang matang. Ia menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Inggris dan Belanda. Dengan bekal kemampuan tiga bahasa tersebut, Wahid Hasyim dapat mempelajari berbagai buku dari tiga bahasa tersebut. Otodidak yang dilakukan Wahid Hasyim memberikan pengaruh signifikan bagi praktik dan kiprahnya dalam pendidikan dan pengajaran, khususnya di pondok pesantren termasuk juga dalam politik.

Setelah kembali dari Mekkah, Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaharuan, baik di bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik. Pada usia 24 tahun (1938), Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama kawan-kawannya, ia gencar dalam memberikan pendidikan politik, pembaharuan pemikiran dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah. Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas dari penjajah.

Menikah
Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB/Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim), Umar (dokter lulusan UI), Khadijah dan Hasyim.

Empat Tahun Sebelum Masuk Organisasi
Jangan ada orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritisnya. Pada umumnya orang yang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau keluarga lain, karena ikut-ikutan atau karena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga NU. Sudah lazim orang masuk NU karena keturunan; ayahnya aktif di NU, maka secara otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti itu agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses ke-NU-an Abdul Wahid Hasyim berlangsung dalam waktu yang cukup lama, setelah melakukan perenungan mendalam. Ia menggunakan kesadaran kritis untuk menentukan pilihan organisasi mana yang akan dimasuki.

Waktu itu April 1934, sepulang dari Mekkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar Abdul Wahid Hasyim aktif dihimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat basis organisasinya dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wahid Hasyim ke tanah air disambut penuh antusias para pemimpin perhimpunan dan diajak bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tidak satupun tawaran itu yang diterima, termasuk tawaran dari NU.

Apa yang terjadi dalam pergulatan pemikiran Abdul Wahid Hasyim, sehingga ia tidak kenal secara cepat menentukan pilihan untuk bergabung di dalam satu perkumpulan itu? Waktu itu memang ada dua alternatif di benak Abdul Wahid Hasyim. Kemungkinan pertama, ia menerima tawaran dan masuk dalam salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri.

Di mata Abdul Wahid Hasyim perhimpunan atau partai yang berkembang waktu itu tidak ada yang memuaskan. Itulah yang menyebabkan ia ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian Abdul Wahid Hasyim, partai A kurang radikal, partai B kurang berpengaruh, partai C kurang memiliki kaum terpelajar, dan partai D pimpinannya dinilai tidak jujur.

”di mata saya, ada seribu satu macam kekurangan yang ada pada setiap partai,” tegas Abdul Wahid Hasyim ketika berceramah di depan pemuda yang bergabung dalam organisasi Gerakan Pendidikan Politik Muslim Indonesia.

Setelah beberapa lama melakukan pergulatan pemikiran Wahid Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihannya ke NU. Meskipun belum sesuai dengan keinginannya, tapi dianggap NU memiliki kelebihan dibanding yang lain. Selama ini organisasi-organisasi dalam waktu yang pendek tidak mampu untuk menyebar keseluruh daerah. Berbeda dengan NU dalam waktu yang cukup singkat sudah menyebar hingga 60% di seluruh wilayah di Indonesia. Inilah yang dianggap oleh Wahid Hasyim kelebihan yang dimiliki oleh NU.

Pokok Pemikirannya
Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.

Mendudukkan para santri dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok pesantren asuhannya ayahnya.

Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren.

Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya.

Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:

* Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
* Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
* Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.

Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di lingkungan pesantren lebih berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia). Dengan seperti itu, pesantren didominasi oleh mata ajaran yang berkaitan dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual sakral dan sebagainya.

Meski tidak pernah mengenyam pedidikan modern, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Berkembangnya pendidikan madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya yang dilakukan oleh cendikiawan muslim, termasuk Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (pesantren) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Apa yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu bagi kalangan pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah membuat pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti halnya memakai pantolan, dasi dan topi, dan dalam konteks luas pengetahuan umum.

Dalam metode pengajaran, sekembalinya dari Mekkah untuk belajar, Wahid Hasyim mengusulkan perubahan metode pengajaran kepada ayahnya. Usulan itu antara lain agar sistem bandongan diganti dengan sistem tutorial yang sistematis, dengan tujuan untuk mengembangkan dalam kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghafal mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau berdikusi. Secara singkat, menurut Wahid Hasyim, metode bandongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri.

Perubahan metode pengajaran diimbangi pula dengan mendirikan perpustakaan. Hal ini merupakan kemajuan luar biasa yang terjadi pada pesantren ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis. Dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga pendapatnya bisa dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri (murid). Proses belajar mengajar berorientasi pada murid, sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri.

Kiprah Sosial Kemasyarakatan dan Kenegaraan
Selain melakukan perubahan-perubahan tersebut Wahid Hasyim juga menganjurkan kepada para santri untuk belajar dan aktif dalam berorganisasi. Pada 1936 ia mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam). Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mengorganisasi para pemuda yang secara langsung ia sendiri menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman baca.

Pada tahun 1938 Wahid Hasyim banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan NU. Pada tahun ini Wahid Hasyim ditunjuk sebagai sekretaris pengurus Ranting Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemmudian untuk selanjutnya Wahid Hasyim dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya. Dari sini karirnya terus meningkat sampai Ma’arif NU pada tahun 1938. Setelah NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih sebagai ketua Biro Politik NU tahun 1950.

Di kalangan pesantren, Nahdlatul Ulama mencoba ikut memasuki trace baru bersama-sama organisasi sosial modern lainnya, sepeti Muhammadiyah, NU juga membentuk sebuah federasi politik bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) lebih banyak di dorong oleh rasa bersalah umat Islam setelah melihat konsolidasi politik kaum nasionalis begitu kuat. Pada tahun 1939, ketika MIAI mengadakan konferensi, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia mengundurkan diri.

Wahid Hasyim juga mempelopori berdirinya Badan Propaganda Islam (BPI) yang anggota-anggotanya dikader untuk terampil dan mahir berpidato di hadapan umum. Selain itu, Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhnya ditangani oleh KH. A Kahar Mudzakir. Tahun berikutnya, 1945, Wahid Hasyim aktif dalam dunia politik dan memulai karir sebagai ketua II Majelis Syura (Dewan Partai Masyumi). Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri. Sedangkan ketua I dan ketua II masing-masing Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimejo.

Pada tanggal 20 Desember 1949 KH. Abdul Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam kabinet Hatta. Sebelumnya, yaitu sebelum penyerahan kedaulatan, ia menjadi Menteri Negara. Pada periode kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, Wahid Hasyim tetap memegang jabatan Menteri Agama.

Dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno pada September 1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Syahrir pada tahun 1946. Pada tahun ini juga, ketika KNIP dibentuk, KH. A Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP.

Selama menjadi Menteri Agama, usahanya antara lain: [1] Mendirikan Jam’iyah al-Qurra’ wa al-Huffazh (Organisasi Qari dan Penghafal al-Qur’an) di Jakarta; [2] Menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1950; [3] Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia; dan [4] Menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam kementerian agama.

Pada tahun 1952 KH. Abdul Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslimin Indonesia, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Darul Dakwah wa al-Irsyad. Susunan pengurusnya adalah KH. A Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H. Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua II.

Sebagai Ketua Umum PBNU
Ketika Muktamar ke 19 di Palembang mencalonkannya sebagai Ketua Umum, ia menolaknya, dan mengusulkan agar KH. Masykur menempati jabatan sebagai Ketua Umum. Kemudian atas penolakan KH. A Wahid Hasyim untuk menduduki jabatan Ketua Umum, maka terpilihlah KH. Masykur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Namun berhubung KH. Masykur diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Ali Arifin, maka NU menonaktifkan KH. Masykur selaku ketua umum, dan dengan demikian maka Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Ketua Umum.

Disamping sebagai Ketua Umum PBNU, KH. A Wahid Hasyim menjabat Shumubucho (Kepala Jawatan Agama Pusat) yang merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat Islam. Awalnya Shumubucho adalah merupakan kompensasi yang diberikan kepada KH. Hasyim Asy’ari, mengingat usianya yang sudah uzur dan ia harus mengasuh pesanten sehingga tidak mungkin jika harus bolak-balik Jakarta-Jombang. Karena kondisi ini, ia mengusulkan agar tugas sebagai Shumubucho diserahkan kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, puteranya.

Tokoh Muda BPUPKI
Karir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan ia sandang. Diantaranya ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal dengan BPUPKI. Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bintoro dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun.

Sebagai anggota BPKI yang berpengaruh, ia terpilih sebagai seorang dari sembilan anggota sub-komite BPKI yang bertugas merumuskan rancangan preambule UUD negara Republik Indonesia yang akan segera diproklamasikan.

Musibah di Cimindi
Tanggal 19 April 1953 merupakan hari berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul Wahhid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, dengan ditemani seorang sopir dari harian pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslim, dan putra sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil. KH. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto.

Daerah sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin. Pada waktu itu lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi KH. Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan keras. Saat terjadi benturan, KH. A Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian kening, mata serta pipi dan bagian lehernya. Sementara sang sopir dan Abdurrahman tidak cidera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.

Lokasi kejadian kecelakaan itu memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat terlambat. Baru pukul 16.00 datang mobil ambulan untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik.

Ditetapkan Sebagai Pahlawan
Berdasarkan Surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, KH. Abdul Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia yang semasa hidupnya terdorong oleh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa cinta tanah air dan bangsa, telah memimpin suatu kegiatan yang teratur guna mencapai kemerdekaan nusa dan bangsa.