Minggu, 29 Mei 2011

tafsir ayat-ayat ibadah

BAB I
PENDAHULUAN
Manusia dan makhluk lainnya adalah allah yang menciptakan , tak lepas dari tujuan allah menciptakannya ialah untuk beribadah kepadanya. Allah menegaskan pada alquran pada suarat az-zariyat ayat 56, yang artinya “Dan aku tidak menciptakn jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku”.
Beribadah kepada allah ialah menghambakan diri kepada-Nya, dengan penuh kekhusukan,memurnikan ketaatan hanya kepadanya, karena merasakan bahwa hanya allah-lah yang menciptakan, menguasai, memelihara dan mendidik seluruh makhluk.
Dalam hal inisedikt kami paparkan ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tetntang beribadah kepada Allah.

BAB II
Ayat-Ayat Ibadah
A. Surat Al-Baqarah ayat 21
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”
Tiga macam sikap manusia yang disebut diatas: orang bertaqwa, kafir dan munafik, semuanya diajak oleh Allah. Wahai seluruh manusia yang mendengar panggilan ini beribadahlah yakni tunduk, patuh dengan penuh hormat, dan kagumlah kepada Tuhan kamu sang pemelihara dan pembimbing, karena dialah yang menciptakan kamu dan yang sebelum kamu.
Ibadah adalah suatu bentuk kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak kepada sesuatu yang diyakini menguasai jiwa raga seseorang dengan penguasaan yang arti dan hakikatnya tidak terjangkau. Karena itu, ketunduan dan kepatuhan kepada orang tua atau penguasa tidak w.ajar dinamai ibadah.
Paling tidak, ada tiga hal yang menandai seseorang mencapai ibadah.
1. Pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangangnya sebagai milik pribadinya, tetapi milik siapa yang kepada-Nya dia mengabdi.
2. Segala aktivitasnya hanya berkisar pada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya ia mengabdi serta menghindar dari apa yang dilarangNya.
3. Tidak sesuatu untuk dia laksanakan atau hindari kecuali dengan mengaikatnya dengan kehendak siapa yang kepada-Nya ia mengabdi. Bukankah seperti dikemukakan diatas, si pengabdi yakin bahwa jiwa raganya dikuasai oleh siapa yang ia mengabdi kepada-Nya?
Terhadap siapakah ibadah atau pengabdian harus ditujukan?, ayat ini menjelaskan bahwa ibadah tersebut ditujukan kepada Rabb yang menciptakan seluruh manusia dan siapapun yang diberi potensi akal sebelum wujudnya seluruh manusia yang mendengar panggilan ayat ini. Karena pencipta itu adalah Rabb.
Rabb adalah pendidik dan pemelihara. Banyak sekali aspek dari “rububiyat” Allah SWT. Yang menyentuh makhluk-Nya seperti pemberian rejeki, kasih sayang, pengampunan dan lain-lain. Angkatlah salah satu nikmat yang anda rasakan atau anda sadari sedang dimiliki orang lain, dan tanyailah diri anda, siapa yang menganugerahkan nikmat itu? Jawabannya adalah Dia sang pemelihara dan pendidik itu. Bahkan amarah, ancaman, dan siksa-Nya tidak keluar dari makna yang dikandung oleh kata Rabb bukankah orang tua yang memukul anaknya adalah dalam rangka memelihara dan mendidiknya? Kata Rabb pada ayat ini adalah bukti kewajaran sang pencipta untuk ditunjukkan kepadaNya saja segala maacam ketaatan dan kepatuhan.
Tetapi ingat, ibadah yang dilakukan itu bukan untuk kepentingan-Nya, tetapi untuk kepentingan sang pengabdi, yakni agar ia bertaqwa serta serta terhindar dari siksa dan saksi Allah di dunia dan diakhirat. karena itu, laksanakanlah ibadah dengan niat agar kamu bertakwa, yakni dengan mengharap agar kamu apat terhindar dari segala sesuatu yang dapat yang dapat menyiksa kamu.
Di atas dikemukakan bahwa ayat ini mengajak ketiga kelompok manusia yang bertaqwa, kafir dan munafik untuk. Nah pertanyaan yang muncul, apakah yang bertaqwa masih diajak untuk beribadah yang tujuaanya adalah agar mencapai taqwa, padahal mereka telah bertaqwa? Ya mereka tetap diajak, bukan saja agar ibadah tersebut terus memelihara keterhindaran mereka dari siksa, tetapi juga untuk meningkatkan ketaqwaan itu serta memperkokoh benteng yang melindungi mereka dari segala macam ancaman duniawi dan ukhrowi.
Memang boleh jadi ajakan ini lebih banyak ditujukan dan ditekankan kepada orang-orang yang musyrik dan yang menempuh jalan neraka. Ini diperkuat oleh panggilanya Yaa ayyuhan nas (wahai seluruh manusia) yang biasanya digunakan untuk menyeru mereka yang belum beriman, sedang yang telah beriman dipanggil dengan ya ayyuhal ladzina amanu.
Sebagaiman dikuatkan juga oleh lanjutan ayat berikut yang menyatakan janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Disini Allah menampakkan betapa besar kasih sayangNya kepada makhluk, khususnya manusia. Walaupun para pendurhaka telah melampauhi batas, namun mereka masih diajak. Ini karena sikap keras yang ditampilkan dalam ayat-ayat yang lalu lahir dari keinginan mengembalikan mereka kejalan yang benar. Apa yang ditempuh itu, adalah perwujudan dari sifat rububiyah Allah kepada seluruh manusia bahkan alam semesta. Memang pendidik hendaknya sesekali mengancam bahkan kalau perlu menjatuhkan sanksi terhadap peserta didik, tetapi itu tidak boleh menjadikanpeserta didik semakin menjauh dari tujuan yang ingin dicapai. Pendidik apabila telah mengucapkan kalimat keras atau tindakan tegas kepada peserta didik, dituntut untuk kembali kepadanya dengan sikap dan kata-kata yang menghilangkan kegusaran dan dampak buruk yang mungkin hinggap dihati peserta didiknya. Ia hendaknya tetap memelihara hubungan sehingga peserta didik tidak semakin menjauh atau antipati terhadap pendidik. Nah hal serupa inilah yang ditempuh oleh ayat diatas.

Surat Az-Zumar ayat 2 dan 3
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ ﴿٢﴾ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ)۳(
Artinya: “2.Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab kepadamu(Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran.Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keteetan kepada-Nya. 3.Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”
Dalam surat Az-Zumar ayat 2 Allah SWT menjelaskan, bahwa dia menurunkan kepada rasul-Nya kitab Al-Qur'an, dengan membawa kebenaran dan keadilan. Maksud "membawa kebenaran" dalam ayat ini ialah membawa perintah kepada seluruh manusia agar mereka beribadah hanya kepada Allah. Kemudian Allah menjelaskan cara beribadah yang benar itu hanyalah menyembah Allah saja, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, bersih dari pengaruh syirik atau riya'. Kebenaran yang terdapat dalam Al-Qur'an itu sesuai dengan kebenaran yang termuat dalam kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-rasul sebelumnya.

Dalam surat Az-Zumar ayat 3 Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengingatkan kaumnya bahwa hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih. Maksud agama dalam ayat ini adalah ibadah dan taat. Oleh sebab itu ibadah dan taat itu hendaknya ditujukan kepada Allah semata, bersih dari syirik dan riya'.
Ibn 'Arobi berkata : Ayat ini menunjukkan kewajiban niat dalam setiap pekerjaan. Jadi pada dasarnya setiap pekerjaan itu harus didasari keikhlasan. Akan tetapi jangan sampai niat kita mengendorkan semangat kita dalam berlomba-lomba dalam kebaikan, karena banyak orang yang beranggapan bahwa ketika mereka sudah berniat dengan ikhlas maka sudah cukup bagi mereka dan mereka enggan meningkatkannya. Mereka sudah merasa cukup dengan apa yang mereka kerjakan padahal itu belum seberapa nilainya dimata Allah SWT.
B. Surat Ar-Rum ayat 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Allah Swt. berfirman: Fa aqim wajhaka li ad-dîn hanîfâ (Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama Allah). Menurut Mujahid, Ikrimah, al-Jazairi, Ibnu al-‘Athiyah, Abu al-Qasim al-Kalbi, dan az-Zuhayli, kata ad-dîn bermakna dîn al-Islâm. Penafsiran ini sangat tepat, karena khithâb ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw., tentu agama yang dimaksudkan adalah Islam.
Adapun hanîf, artinya cenderung pada jalan lurus dan meninggalkan kesesatan. Kata hanîf tersebut, merupakan hâl (keterangan) bagi adh-dhamîr (kata ganti) dari kata aqim atau kata al-wajh; bisa pula merupakan hâl bagi kata ad-dîn. Dengan demikian, perintah itu mengharuskan untuk menghadapkan wajah pada dîn al-Islâm dengan pandangan lurus; tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, dan tidak condong pada agama-agama lain yang batil dan menyimpang. Perintah ini merupakan tamsil untuk menggambarkan sikap penerimaan total terhadap agama ini, istiqamah di dalamnya, teguh terhadapnya, dan memandangnya amat penting.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: fithrah Allâh al-latî fathara an-nâs ‘alayhâ (tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu). Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia.
Menurut sebagian mufasir, kata fithrah Allâh berarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama yang haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah Swt. untuk cenderung pada tauhid dan dîn al-Islâm sehingga manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya.
Sebagian mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Syihab memaknainya dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya fitrah dengan Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan. Hal ini terdapat dalam ayat Al-Qur’an yang lain yaitu, (QS adz-Dzariyat 56).
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Jika dicermati, kedua makna tersebut tampak saling melengkapi.
Harus diingat, kata fithrah Allâh berkedudukan sebagai maf‘ûl bih (obyek) dari fi‘il (kata kerja) yang tersembunyi, yakni ilzamû (tetaplah) atau ittabi‘û (ikutilah). Itu berarti, manusia diperintahkan untuk mengikuti fitrah Allah itu. Jika demikian, maka fitrah yang dimaksudkan tentu tidak cukup hanya sebatas keyakinan fitri tentang Tuhan atau kecenderungan pada tauhid. Fitrah di sini harus diartikan sebagai akidah tauhid atau dîn al-Islâm itu sendiri.
Dari keterangan diatas memperkuat perintah untuk mempertahankan penerimaan total terhadap Islam, tidak condong pada agama batil lainnya, dan terus memelihara sikap istiqamah terhadap dîn al-Islâm, dîn al-haq.
Ini sama seperti firman-Nya:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“ Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya dia maha melihat apa yang kamu kerjakan (QS Hud :112).”
Allah Swt. berfirman: لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ (tidak ada perubahan atas fitrah Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillâh maksudnya adalah li dînillâh. Kata fithrah sepadan dengan kata al-khilqah. Jika fitrah dalam ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dîn Allâh, maka kata khalq Allâh pun demikian, bisa dimaknai dîn Allâh.
Allah Swt. memberitakan, tidak ada perubahan bagi agama yang diciptakan-Nya untuk manusia. Jika Allah Swt. tidak mengubah agamanya, selayaknya manusia pun tidak mengubah agama-Nya atau menggantikannya dengan agama lain.
Oleh karena itu, menurut sebagian mufassir, sekalipun berbentuk khabar nafî (berita yang menafikan), kalimat ini memberikan makna thalab nahî (tuntutan untuk meninggalkan). Dengan demikian, lafal tersebut dapat diartikan: Janganlah kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan kemusyrikan;janganlah mengubah fitrahmu yang asli dengan mengikuti setan dan penyesatannya; dan kembalilah pada agama fitrah, yakni agama Islam.
Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: Dzâlika ad-dîn al-qayyim walâkinna aktsara an-nâs lâ ya‘lamûn (Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). Kata al-qayyûm merupakan bentuk mubâlaghah dari kata al-qiyâm (lurus). Allah Swt. menegaskan, perintah untuk mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan fitrah yang sehat itu adalah agama yang lurus; tidak ada kebengkokan dan penyimpangan di dalamnya.
C. Surat Thaha ayat 14
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”
Sudah jelas dan gamblang bagaimana Allah menjelaskan kepada kita tentang cara menginggat Allah yaitu dengan sholat, maka janganlah memutar balikkan fakta tentang sesatu yang sudah jelas adanya.
Sungguh merugi kalau kita tidak mau berterimakasih kepada orang-orang yang telah berjasa kepada kita, Rasulullah SAW contohnya, ia adalah seorang rasul yang telah menerima dan menyampaikan perintah beribadah (baik berupa ibadah mahdhoh maupun ibadah ghoru mahdhoh) kepada kita semua sedang beliau bisa mensinergikan antara keduanya.
Walaupun kita tahu bahwa Rasulullah sudah dijamin oleh Allah, beliau melakukan ibadah mahdhoh maupun yang ghoiru mahdhoh, sedang kita orang yang banyak dosa sudah berani mendakwakan diri sebagai orang yang benar dan telah mengetahui hakikat.
D. Surat Al-Bayyinah Ayat 5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
Huruf ل pada ayat وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ menunjukkan bahwasanya ibadah diwajibkan bukan karena mengharapkan surga ataupun karena agar terhindar dari neraka akan tetapi lebih kepada sikap kehambaan kita (yaitu karena kita seorang hamba dan Dia (Allah) adalah ربّ tuhan), walaupun seumpamanya ada sebuah ketentuan dalam agama yaitu tidak ada konsep pahala ataupun siksa, lalu kemudian kita diperintah oleh Allah untuk beribadah, maka kita tetap harus patuh dan tunduk serta melaksanakan apa yang menjadi ketentua-Nya atas dasar kemurnian dalam beribadah.
Dalam tafsir Al-Kabiir dijelaskan bahwa Ibadah adalah sikap merendahkan dan menghinakan diri dihadapan Allah SWT, sedangkan orang yang beranggapan bahwa sikap merendahkan dan menghinakan diri itu adalah bentuk dari ketaatan adalah salah, karena ada sekelompok orang yang menyembah malaikat, Isa Al-Masih dan berhala-berhala. Sedangkan kita tidak boleh mengikuti jalan tersebut, hanya saja dalam syariat hal tersebut menjadi suatu nama setiap ketaatan kepada Allah dengan jalan menghinakan diri dan memuliakan-Nya dengan segala kemuliaan. Asy-Syaikh Fakhruddin Muhammad mengatakan bahwa, dalam melaksanakan ibadan harus ada dua unsur, yaitu :
1. Memuliakan dengan segala kemuliaan (غاية التّعظيم ), dan bahwa sholatnya anak kecil ( belum baligh ) itu tidak dapat disebut dengan ibadah, karena anak kecil ( belum baligh ) tidak terkenai hukum taklifi.
2. Adanya perintah untuk beribadah( أن يكون مأمورا به), adapun ibadah dari seorang yahudi bukan dinamakan ibadah, walaupun ia mengagungkan Allah. Karena ia menyekutukan Allah, maka mereka tidak diperintah untuk beribadah.
مخلصين (sikap ikhlas) harus dimulai dari permulaan sampai akhir dari pekerjaan. Orang yang ikhlas ialah orang yang selalu berbuat baik atas dasar kebaikan, menjalankan kewajiban kerena kewajibanya, dan ia akan selalu melaksanakanya secara tulus karena Allah semata, tidak ada perasaan riya' sombong atau yang lainya, akan tetapi ia mempunyai prinsip yang diyakini kebenaranya bahwa amal ini aku kerjakan tidak karena aku mengharap surga atau menghindar dari neraka. Walaupun hal tersebut pasti adanya, tetapi kita mencoba untuk berbuat yang terbaik dan ikhlas karena Allah.
Kecenderungan manusia ketika beribadah ialah mengorientasikannya untuk berlomba-lomba mencari fahala dan menjauhkan diri dari siksa, lalu timbul pertanyaan apakah pekerjaan itu juga dapat dikategorikan ikhlas?
Menilai dari kecenderungan manusia yang seperti itu ada tiga poin yang perlu dicermati :
1. Terdapat sekelompok Manusia yang dalam keadaan terdesak, susah atau terancam pada sesuatu yang berbahaya, maka dapat dipastikan bahwa mereka saat itu (baik dia yakin maupun tidak), dia akan percaya dan kembali kepada Tuhanya dalam bentuk ibadah. Kemudian apabila Allah menganugrahkan kepadanya suatu nikmat, ia akan lupa denagan apa yang telah ia mohon sebelumya. Orang seperti ini biasanya dapat bersikap ikhlas dan kadang pada suatu saat mengharapkan pahala atau menghindar dari siksa, yaitu ditunjukkan ketika ia berdo'a, yaitu mereka mengharapkan sesuatu dari ibadahnya.
2. Golongan yang benar-benar dapat beramal dengan ikhlas, golongan ini masuk dalam kategori golongan Khosh dan ditempati oleh para Nabi dan Rasul Allah.
3. Golongan yang tidak dapat terlepas dari sikap ingin mendapatkan pahala dan menghindar dari siksa, dan ini juga dapat digolongkan dalam kategori perbuatan yang iklas karena memang Allah sudah menjanjikan semua itu selama ia tidak riya', sombong, syirik dan sebagainya.
Jadi sudah tidak ada lagi alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakan sholat, puasa, zakat dan lain-lain yang berkaitan dengan ibadah mahdhoh, akan tetapi tidak menafikan ibadah yang ghoiru mahdhoh dan keduanya harus kita fahami dengan total menyeluruh dan sempurna.
E. Surat Al-Kafirun 1-6
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ -١- لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ -٢- وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ -٣- وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ -٤- وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ -٥- لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ -٦-
Artinya: “1. katakanlah hai orang-orang kafir. 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. Dan kamu bukan penyembah tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. 5. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah tuhan yang aku sembah. 6. Untukmulah agamamu dan untukkulah agama ku.”
(1-2) Dalam ayat-ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa “Tuhan” yamg mereka sembah bukanlah “Tuhan” yang ia sembah, karena mereka menyembah “Tuhan” yang memerlukan pembantu dn mempunyai anak atau menjelma dalam suatu bentuk atau dalam sesuatu atau bentuk-bentuk lain yang mereka dakwakan. Sedang Nabi SAW menyembah Tuhan yang tidak ada tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak sanggup menerka bagaimana Dia, tidak ditentukan oleh tempat dan tidak terikat oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.
Maksud pernyataan itu adalah terdapat perbedaan sangat besar antara “Tuhan” yang di sembah orang-orang kafir dengan Tuhan yang disembah nabi Muhammad. Mereka menyifati tuhannya dengan sifat-sifat yang tidak layak sama sekali bagi Tuhan yang disembah nabi.

(3) Selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang diperintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang di dakwahkan nabi Muhammad, karena sifat-sifat-Nya berlainan dengan sifat-sifat “Tuhan” yang mereka sembah dan tidak mungkin dipertemukan antara kedua macam sifat tersebut.
(4-5) Sesudah Allah menyatakan tentang tidak mungkin ada persamaan sifat antara Tuhan yang disembah oleh Nabi SAW dengan yang disembah oleh orang kafir , maka dengan sendirinya tidak ada pula persamaan dalam hal ibadah. Tuhan yang disembah Nabi Muhammad adalah Tuhan yang Mahasuci dan tandingan, tidak menjelma pada seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu. Sedangkan “Tuhan” yang mereka sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut diatas. Lagi pula ibadah Nabi hanya untuk Allah saja, sedang ibadah mereka bercampur dengan syirik dan dicampuri dengan kelalaian dari Allah, maka yang demikian tidak dinamakan ibadah.
Pengulangan pernyataan yang sama seperti yang terdapat dalam ayat 3 dan 5 adalah untuk memperkuat dan membuat orang yang mengusulkan kepada Nabi SAW berputus asa terhadap penolakan Nabi menyembah tuhan mereka selama setahun. Pengulangan seperti ini juga terdapat dalam surah arRahman/55 dan al Mursalat/77. Hal ini adalah biasa dalam bahasa Arab.
(6) Kemudian dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan firman-Nya yaitu, “Bagi kamu balasan atas amal perbuatanmu dan bagiku atas amal perbuatanku.”
BAB III
SIMPULAN
Dari penjelasan tersebut di atas bisa disimpulkan bahwasanya ayat-ayat yang menjelaskan dan memerintahkan kita untuk beribadah sangat banyak dari ayat yang mengajak kita untuk mengerjakan shalat, menunaikan zakat dan lain-lain. Dan dari paparan diatas kita bisa mengambil pelajaran dari tafsiran-tafsiran tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen agama RI. 2009. Al-Qur’an dan tafsirnya. Lembaga Percetakan Al-Qur’an Departemen Agama : Bogor

Departemen Agama. 1971. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Yayasan Penterjemah Al-Qur’an : Jakarta

http://makalah tafsir ayatibadah.blogspot.com/
http://bulankurniafitri.wordpress.com/2010/12/26/tafsir-ayat-ayat-tentang-ibadah/ Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al misbah. Lentera Hati: Ciputat

Biografi Imam Asy Syafi’i

Namanya adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib. Nama panggilannya adalah Abu Abdillah.

Beliau dilahirkan di Gaza tahun 150 Hijriyah pada tahun dimana Imam Abu Hanifah An Nu’man meninggal. Ayahnya meninggal dalam usia muda, sehingga Muhammad bin Idris As-Syafi’I menjadi yatim dalam asuhan ibunya. Pada usia 7 tahun ia sudah hafal Al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab Al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.
Awal Menuntut Ilmunya

Imam As-Syafi’I berkata, “Aku adalah seorang yatim dibawah asuhan ibuku. Ibuku tidak mempunyai uang untuk membayar seorang guru untuk mengajariku. Namun seorang guru telah mengizinkanku belajar dengannya ketika ia mengajar. Tatkala aku selesai meng-khatam-kan al-Qur’an, aku lalu masuk masjid untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan para ulama. Dalam pengajian itu, aku menghafalkan hadits dan permasalahan-permasalahan agama. Akibat kemiskinanku, ketika aku melihat tulang yang menyerupai papan, maka tulang itu aku ambil untuk menulis hadits dan beberapa permasalahan agama.”

Imam An-Nawawi membahas tentang Imam Syafi’I yang secara ringkasnya adalah sebagai berikut: “Imam Syafi’I memperdalam fiqh dari Muslim bin Khalid Az-Zanji dan imam-imam Makkah yang lain. Kemudian dia pindah ke Madinah dengan tujuan berguru kepada Abu Abdillah Malik bin Anas. Ketika di Madinah, Imam Malik bin Anas memperlakukan As-Syafi’I dengan mulia karena nasab, ilmu, analisis, akal dan budi pekertinya. Imam As-Syafi’I kemudian membaca dengan cara menghafal kitab Al-Muwaththa’ (karya Imam Malik) kepada Imam Malik. Mendengar bacaanya terhadap Al Muwaththa’ ini, Imam Malik merasa kagum sehingga dia meminta agar Imam As-Syafi’I untuk membacanya kembali. Setelah berapa lama bersama Imam Malik, akhirnya dia berkata kepada As-Syafi’I, “Bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya kamu dimasa mendatang akan memiliki sesuatu yang agung.” Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Imam malik berkata kepada Imam As-Syafi’I, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyinari hatimu dengan nurNya, maka jangan padamkan nurNya dengan berbuat maksiat.” Setelah berguru dengan Imam Malik, Imam As-Syafi’I lalu pindah ke Yaman. Dari Yaman, dia lalu pindah ke Irak untuk menyibukkan dirinya dalam ilmu agama. Selama tinggal di Irak ini, dia menghasilkan kitab yang bernama Kitab Al-Hujjah yang kemudian dikenal Qaul Qadim Imam As-Syafi’i. Pada tahun 199 Hijriyah, dia meninggalkan Irak menuju Mesir. Semua karyanya yang dikenal dengan Qaul Jadid ditulis di Mesir. Ketika di Mesir inilah nama Imam As-Syafi’I banyak disebut-sebut orang sehingga dirinya menjadi tujuan banyak orang untuk menimba ilmu, baik yang berasal dari Irak, Syam, maupun Yaman.”

Akhlaknya

Ar Rabi’ bin Sulaiman mengatakan bahwa Imam Syafi’I membagi malam menjadi tiga bagian: sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga terakhir untuk tidur.

Imam Syafi’I merupakan seseorang yang sangat dermawan terhadap setiap orang. Al-Humaidi mengatakan bahwa Imam Syafi’I dari daerah Sin’an ke Makkah dengan membawa sepuluh ribu dinar ditangannya. Dia lalu mendirikan tenda diluar kota Makkah, sehingga orang-orang berdatangan meminta uang tersebut. Sebelum gelap malam tiba, maka uang itu telah habis tanpa tersisa sedikit pun.

Ar-Rabi’ memberitahukan bahwa ada seseorang yang telah mengambil keledai milik Imam Syafi’i. lalu dia berkata, “Wahai Rabi’, berikanlah kepada pencuri itu empat dinar dan suruh dia minta maaf padaku.”

Guru dan Murid-muridnya

Guru-guru Imam Syafi’I diantaranya: Muslim bin Khalid Az Zanji, Imam Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah, Hatim bin Isma’il.

Murid-muridnya: Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Imam Ahmad bin Hambal, Ar Rabi’ bin Sulaiman Al Jizi.

Karya-karyanya

Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I mengatakan bahwa Imam Syafi’I telah menghasilkan sekitar 140-an kitab, baik dalam Ushul maupun Furu’.

Karya-karyanya antara lain: kitab Al Umm, As Sunan Al Ma’tsurah, Ar Risalah, Al Fiqh Al Akbar.

Kecerdasannya

Dihikayatkan bahwa ada sebagian ulama terkemuka di Iraq yang merasa dengki dan iri hati terhadap Imam asy-Syafi’i dan berupaya untuk menjatuhkannya. Hal ini dikarenakan keunggulan Imam asy-Syafi’i atas mereka di dalam ilmu dan hikmah, di samping karena beliau mendapatkan tempat yang khusus di hati para penuntut ilmu sehingga mereka begitu antusias menghadiri majlisnya saja dan merasa begitu puas dengan pendapat dan kapasitas keilmuannya. Karena itu, para pendengki tersebut bersepakat untuk menjatuhkan Imam asy-Syafi’i. Caranya, mereka akan mengajukan beberapa pertanyaan yang rumit dalam bentuk teka-teki untuk menguji kecerdasannya dan seberapa dalam ilmunya di hadapan sang khalifah yang baik, Harun ar-Rasyid. Khalifah memang sangat menyukai Imam asy-Syafi’i dan banyak memujinya. Setelah menyiapkan beberapa pertanyaan tersebut, para pendengki tersebut memberitahu sang khalifah perihal keinginan mereka untuk menguji Imam asy-Syafi’i. Sang khalifah pun hadir dan mendengar langsung lontaran beberapa pertanyaan tersebut yang dijawab oleh Imam asy-Syafi’i dengan begitu cerdas dan amat fasih.


Imam Syafi’i Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon

Senin, 23 Mei 2011

Kerajaan Singhasari


Arca Prajnaparamita ditemukan dekat candi Singhasari dipercaya sebagai arca perwujudan Ken Dedes (koleksi Museum Nasional Indonesia). Keindahan arca ini mencerminkan kehalusan seni budaya Singhasari.Awal berdiri
Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.
Mandala Amoghapāśa dari masa Singhasari (abad ke-13), perunggu, 22.5 x 14 cm. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Penemuan prasasti Mula Malurung memberikan pandangan lain yang berbeda dengan versi Pararaton yang selama ini dikenal mengenai sejarah Tumapel.
Kerajaan Tumapel disebutkan didirikan oleh Rajasa yang dijuluki "Bhatara Siwa", setelah menaklukkan Kadiri. Sepeninggalnya, kerajaan terpecah menjadi dua, Tumapel dipimpin Anusapati sedangkan Kadiri dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wonga Teleng). Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusapati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana. Prasasti Mula Malurung juga menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan Tumapel dan Kadiri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara.
Kejayaan
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan dikirimkannya bukti arca Amoghapasa yang dari Kertanagara, sebagai tanda persahabatan kedua negara.
Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.
Keruntuhan
Candi Singhasari dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir Singhasari.
Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.
Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.
Hubungan dengan Majapahit
Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit.
Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa.
Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.

Selasa, 10 Mei 2011

Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno

BIOGRAFI yang ditulis oleh orang lain, apalagi dalam kategori "as told to" selalu membagi dua pendapat antara yang memuja dan mencaci-makinya. Tentang biografi semacam itu sastrawati Inggris, profesor sastra dari University College, London, AS Byatt, mengatakan sebagai:
...bentuk rusak dan upaya mengejar pengetahuan murahan. Cerita tuturan mereka yang tidak mampu menangkap penemuan sejati, cerita sederhana bagi orang yang tidak mampu menyelam lebih dalam. Bentuk rumpi dan kekosongan jiwa yang sakit. (On Histories and Stories, Selected Essays, dalam The New York Times, 18 Maret 2001).
Penilaian sekeras ini kontra-produktif karena kalau semata-mata itu yang dipakai, hampir tidak terbuka kemungkinan mengenal seorang lain melalui naskah-naskah warisan.
"Tales of the two presidents"
Ini juga berlaku dalam hal dua orang yang pernah menjadi presiden Indonesia. Presiden Soekarno dan Soeharto, sama sekali tidak ada waktu menulis otobiografinya sendiri, karena itu suasana batinnya tidak pernah diketahui umum secara "asli". Soekarno dengan seluruh kemampuan intelektualnya untuk merenung, mencernakan, dan menulis tidak pernah meluangkan waktu menulis tentang dirinya sendiri selain beberapa keping cerita anekdotal yang tercecer sana-sini. Soeharto tidak pernah terbukti menulis sesuatu yang berarti untuk publik, selain pidato-pidato kepresidenan dengan intervensi begitu banyak tangan dan otak.
Namun, kalau biografi "as told to" menjadi satu-satunya sumber yang bisa dipakai, maka berikut ini adalah "ucapan asli" dengan mana kedua presiden itu mengungkapkan dirinya--Soekarno kira-kira beberapa waktu sebelum atau di sekitar tahun 1965 kepada penulis Amerika, Cindy Adams, dalam buku Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, pada saat Soekarno berumur 65 tahun; Soeharto kira-kira beberapa waktu sebelum atau di sekitar tahun 1989 kepada dua penulis Indonesia, Dwipayana dan Ramadhan, dalam buku Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Otobiografi Seperti Dipaparkan Kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., pada saat Soeharto berumur kira-kira hampir sama, 67 tahun.
Membandingkan apa yang dikatakan kedua orang ini tentang dirinya mungkin bisa memberikan wawasan tentang kepribadiannya masing-masing dan apa yang dibuatnya. Tentang dirinya Soekarno mengatakan:
"Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti "Tuan". Bapak adalah keturunan Sultan Kediri... Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli-warisnya.
Suatu yang sangat berbeda berlangsung dengan Soeharto, yang tentang dirinya berkata:
Ayah saya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu, petugas desa pengatur air, yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugasnya itu... Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro alias Kertorejo ...yang secara pribadi tidak memiliki sawah sejengkal pun.
Bila diperhatikan ada beberapa perbedaan besar yang menarik perhatian antara keduanya. Pertama, keturunan ningrat langsung saja diangkat Soekarno, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak. Dari pihak ibu garis keturunan disusur-mundur sampai ke Raja Singaraja, Bali, dan dari pihak ayah disusur-mundur sampai ke Sultan Kediri, yang kelak berurusan dengan kerajaan besar Majapahit.
Sedangkan Soeharto hanya menyebut Desa Kemusuk, desa kecil di luar Kota Yogyakarta, dan pangkat bapaknya seorang "ulu-ulu, petugas desa pengatur air". Kedua, bukan saja keningratan akan tetapi adanya suatu suratan takdir bahwa Soekarno, bukan karena kemauannya atau keinginan pribadinya akan tetapi sejarah menetapkan demikian, akan dan bahkan harus memimpin Indonesia karena dari asal-muasal sebagai bagian dari the ruling class. Ketiga, meski dengan seluruh kesadaran tentang "silsilah" ke masa lalu dan suratan takdir ke masa depan tidak satu kata pun disebut Soekarno tentang harta, milik, atau kekayaan apa pun. Sebaliknya, Soeharto sudah dalam halaman-halaman pertama membicarakan harta-tanah sejengkal, tanah jabatan, pangkat bapaknya, yang dalam halaman-halaman susulannya berbicara lagi tentang kambing, baju dan lain-lain lagi-meski semuanya dihubungkan dengan "...banyak penderitaan yang mungkin tidak dialami oleh orang-orang lain".
Keempat, Soekarno bukan saja berbicara tentang keningratan, suratan takdir, kelas berkuasa dan memerintah akan tetapi tentang freedom of the people, suatu cita-cita abstrak-filosofis tinggi yang mencerminkan idealisme Soekarno-isch. Semuanya ini tentu saja berhubungan dengan kekuasaan, power, akan tetapi Soekarno tidak berbicara tentang kekuasaan dirinya. Dia berbicara tentang kelas berkuasa dan bukan tentang dirinya dan kekuasaan akan tetapi suratan takdir untuk memimpin.
Dalam hal Soeharto bisa dilihat sesuatu yang berbeda karena Soeharto berbicara tentang kekuasaan. Hal itu bisa diperiksa hanya dalam satu halaman sebelumnya ketika Soeharto kepada pewawancara untuk penulisan bukunya, dengan bangga dan sedikit sombong, mengenang saat ketika dia berdiri di depan forum dunia tahun 1985 di Food and Agriculture Organization, FAO, milik PBB, di Kota Roma:
Saudara bayangkan, seorang yang lebih dari enam puluh tahun ke belakang masih anak bermandi lumpur di tengah kehidupan petani di Desa Kemusuk saat itu naik mimbar dan bicara di depan sekian banyak ahli dan negarawan dunia, sebagai pemimpin rakyat yang baru berhasil memecahkan persoalan yang paling besar bagi lebih dari 160 juta mulut.
Suatu loncatan besar dari suatu desa kecil di Yogyakarta, ke Roma, kota metropolitan; dari seorang anak berlumur lumpur di Kemusuk yang langsung dihubungkan dengan mimbar yang harus dipahami dalam arti ex cathedra, dan berbicara, yang juga harus dipahami lebih dalam arti memberikan maklumat di depan para ahli dan negarawan dunia. Dia menyebut dirinya pemimpin rakyat sambil menjejerkan prestasinya-bukan dalam hubungan dengan freedom of the people akan tetapi dengan kemampuannya memecahkan soal paling besar; bukan soal abstrak-filosofis Soekarno-isch akan tetapi persoalan "lebih dari 160 juta mulut". Ketika dia menyebut rakyat maka dia reduksikan rakyat itu menjadi bukan orang akan tetapi mulut.
Dengan itu sebagai titik tolak-idealisme, sense of destiny, dan apa yang dicapainya-penerbitan khusus ini mau memeriksa Soekarno pada hari ulang tahunnya yang ke-100 sebagai suatu gejala historis. Kalau Soekarno sendiri mungkin tidak dengan mudah menilai dirinya, semakin besar pula kesulitan itu untuk kita. Kesulitan itu semakin besar lagi ketika kita harus memeriksa kembali diri Soekarno-30 tahun setelah meninggalkan dunia ini, 45 tahun setelah dijatuhkan Soeharto, dan 100 tahun setelah dilahirkan ibunya. Semuanya menjadi suatu kompleks dari persoalan karena meninggalnya 30 tahun lalu bukan sekadar seorang yang memenuhi nasib Sein zum Tode akan tetapi karena kematiannya semakin menimbulkan soal lagi-betulkah dia mati wajar? Kejatuhannya lebih membingungkan ketika semuanya berpusat pada pembunuhan enam jenderal-betulkah PKI yang membunuh dengan konsekuensi menjatuhkan Soekarno pelindungnya adalah keharusan, atau mereka dibunuh oleh anak buahnya sendiri para perwira militer bawahannya dan dengan itu tidak perlu menjatuhkan Soekarno.
Hannah Arendt tidak mengalami kesulitan ketika harus mengucapkan eulogia kepada Karl Jaspers, filosof eksistensialis-teman, kolega, yang mendapatkan hadiah perdamaian Jerman. Tidak ada kata yang lebih pantas, demikian Arendt, daripada puja-pujian, laudatio, karena, sambil mengutip Cicero dikatakannya "in laudationibus...ad personarum dignitatem omnia referrentur", dalam puja-pujian semuanya mengacu kembali kepada kebesaran pribadi-pribadi itu, terutama karena mereka membuktikan dirinya dalam hidup.
Di sana justru letak seluruh kegemasan memeriksa Soekarno, karena jajaran antara dignitas personae dan pembuktian diri dalam hidup tidak selalu seiring, apalagi persoalan yang ditinggalkan Soekarno, seperti konsekuensi ekonomi-politik dan karena itu kemanusiaan yang berasal dari keputusan-keputusannya. Menilai Soekarno semata-mata dari kebesarannya-kalau bukan pendasar maka Soekarno adalah penganjur paling vokal nasionalisme Indonesia, proklamator kemerdekaan-selalu membingungkan dan juga memusingkan karena di samping kebesaran di sana langsung menyusul kekerdilan, di samping kecemerlangan langsung menyusul diletantisme, di samping keberanian revolusioner langsung saja menyusul kekecutan, dan ke-pengecut-an. (Baca: Valina Singka Subekti)
Di pihak lain mengecilkan Soekarno hanya karena persoalan yang ditinggalkannya-semua masalah pra dan pascaperistiwa tanggal 1 Oktober 1965, pembunuhan jenderal-jenderal oleh para perwira bawahannya--sungguh menyesatkan dari satu ujung ke ujung lainnya dan bagi generasi-generasi berikutnya menjadi penipuan terencana. Lantas pertanyaan-untuk siapa pun yang berminat memeriksa Soekarno secara sungguh-sungguh-harus diajukan kembali lagi ke dasar paling awal: siapa Soekarno? Apa yang dibuat Bung Karno? Apa yang ditinggalkan Presiden Republik Indonesia pertama, Pemimpin Besar Revolusi, dan Penyambung Lidah Rakyat?
Satu Abad Nusantara Bersama Soekarno
Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Namun, dari dua jilid ini hanya jilid pertama yang boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang berasal dari tahun 1926, dengan judul "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme" yang paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun-kira-kira pada umur yang sama ketika Marx, 30 tahun, dan Engels, 28 tahun, menulis Manifesto Partai Komunis.
Marx dan Engels membuka manifestonya dengan kata-kata "a spectre is haunting Europe--the spectre of Communism", ada hantu yang menggerayangi Eropa--hantu komunisme. Soekarno membuka tulisannya dengan suatu pernyataan keras, semacam Manifesto Soekarno-isch:
Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan, maka Indonesia-Muda inilah melihat tjahaja hari pertama-tama dalam zaman jang rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak senang dengan nasib-ekonominja, tak senang dengan nasib-politiknja, tak senang dengan segala nasib jang lain-lainnja. Zaman "senang dengan apa adanja", sudahlah lalu. Zaman baru: zaman m u d a, sudahlah datang sebagai fadjar jang terang tjuatja.
Paralelisme antara manifesto Marxis dan manifesto Sukarno-isch bisa dilihat di sini. Soekarno membuka manifestonya yang sarat dengan simbolisme ketika di sana dikatakan tentang Suluh Indonesia Muda, majalah bulanan yang didirikannya sebagai organ organisasi Algemeene Studie Club, yang juga didirikannya: "Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan". Dalam imaji Soekarno Suluh harus menjadi secerdik-cendekia Gatotkaca, sesakti dan seulet tokoh wayang itu yang menjadi orang terakhir yang mengembuskan napasnya di tangan pamannya sendiri. Imaji Soekarno tentang Gatotkaca tidak jauh dari imaji orang Jawa umumnya tentang Gatotkaca, yakni berani tak mengenal takut, teguh, tangguh, cerdik-pandai, waspada, gesit, tangkas dan terampil, tabah dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Ia sangat sakti, sehingga digambarkan sebagai ksatria yang mempunyai 'otot kawat balung wesi'...sumsum gagala, kulit tembaga, drijit gunting, dengkul paron... (Ensiklopedi Wayang Purwa, Balai Pustaka, 1991)
"Hantu" Gatotkaca selalu kembali kalau diperlukan kerajaan Pandawa dalam keadaan krisis dan dalam kalangan keluarga Pandawa berlaku semacam standing order:"...bila sewaktu-waktu menghadapi bahaya, agar memanggil Gatotkaca". Gatotkaca di sini tidak lain dari semacam "hantu", spectre, das Gespenst dalam Manifesto Karl Marx, yang menurut Derrida hantu itu harus dipahami dalam arti hantologie-dan bukan ontologie sebagaimana Marx selalu ditafsirkan--sebagai keadilan yang tidak bisa diredusir lagi.
Dalam manifesto Soekarno, maka dasar berpijak itu berada pada kemerdekaan dari mana tidak ada reduksi lagi-yaitu kemerdekaan dalam arti lepas dan melepaskan diri dari kolonialisme asing, Barat. Kemerdekaan memerlukan beberapa syarat dan salah satu syarat terpenting adalah persatuan. Hantu kemerdekaan itulah yang selalu kembali seperti Gatotkaca untuk menuntut keadilan dalam suatu masa ketika Asia merasa tak senang dengan nasibnya, yaitu nasib kolonial yang tidak adil. Dalam paham Soekarno kolonialisme itu tidak lain dari soal kekurangan rezeki, dan "kekurangan rezeki itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah mentjari rezeki dinegeri lain!".
Dalam paham Soekarno di Asia sudah mulai tumbuh keinsyafan akan tragedi ketika "rakjat-rakjat Eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia" (untuk para pembaca muda "mempertuankan negeri-negeri Asia = menguasai, menjajah Asia-Penulis). Keinsyafan akan tragedi itulah yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat Indonesia yang walaupun dalam maksudnya sama "ada mempunyai tiga sifat: nasionalistis, Islamistis dan Marxistis-lah adanja".
Apa yang dipahami Soekarno tentang marxisme? Sebelum masuk ke dalam apa yang dipahami Soekarno, untuk itu baca Franz Magnis-Suseno, mari kita lihat beberapa hal teknis tentang orang yang disanjungnya dan paham yang dipuja. Sungguh mencengangkan bahwa menulis nama Karl Marx pun, Soekarno menulisnya terbalik, dalam suatu urutan nama Barat, dengan tiga suku bersama iddle name. Soekarno menulis bukan Karl Heinrich Marx, akan tetapi Heinrich Karl Marx. Ketika memberikan acuan kepada Manifesto Komunis Soekarno mengatakan, di tiga halaman berbeda, bahwa Manifesto ditulis dan diumumkan tahun 1847--tahun sesungguhnya adalah bulan Februari 1848. Semua kekeliruan "kecil" di atas harus dimaafkan karena lebih bisa diterima sebagai kealpaan seorang sarjana yang baru saja tamat Sekolah Tinggi Teknik di Bandung dengan gelar insinyur--kalau sudah tamat karena Soekarno menyelesaikan studinya 25 Mei 1926. (Edisi asli Soeloeh Indonesia Moeda, tidak diperoleh).
Apa sesungguhnya yang dipahami Soekarno tentang ketiganya? Bisalah dikatakan di sini bahwa apa yang dicita-citakan Soekarno adalah suatu mission impossible baik dari segi teoretis maupun dari segi praktis. Nasionalisme Soekarno adalah jenis nasionalisme voluntaristik, dengan tekad sebagai modal dengan tujuan hampir satu-satunya yaitu persatuan tanpa mempedulikan realitas ekonomi-politik. Karena itu ketika Soekarno mengatakan bahwa:
...asal mau sahadja...tak kuranglah djalan kearah persatuan. Kemauan, pertjaja akan ketulusan hati satu sama lain, keinsjafan akan pepatah "rukun membikin sentausa" ...tjukup kuatnja untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam pergerakan kita ini lebih menjadi wishful thinking baik pada waktu itu maupun pada waktu ini. (Baca: Baskara Wardaya) Mengapa persatuan? karena itulah persyaratan bagi kemerdekaan. Dengan begitu semua yang lain atau tunduk kepada atau harus ditafsirkan kembali atas dasar persatuan. Persatuan pada gilirannya akan merumuskan jenis nasionalisme, Islam, dan marxisme. Hampir seluruh esoterisme Soekarno dan kekhilafan fundamental yang tersebar sana-sini ketika menafsirkan nasionalisme, Islam, dan marxisme berasal dari sana. (Baca: Vedi Hadiz)
Soekarno dan suratan takdir
Semakin Soekarno diperiksa, semakin kita tidak mengerti siapa Soekarno itu selain bahwa suratan takdir itu sudah dipenuhinya yaitu memimpin Indonesia dalam waktu yang lama-bukan sekadar ketika menjadi presiden, akan tetapi jauh-jauh sebelum itu, sekurang-kurangnya sejak mengeluarkan manifesto Soekarno-isch tahun 1926 sampai dijatuhkan militer tahun 1966 di Jakarta. Setelah jatuh pun Orde Baru tidak mampu menghapus Soekarno dari kenangan publik dan pujaan massa yang tidak pernah mengenalnya. (Baca: Agus Sudibyo). Manifesto itu menjadi dasar geloranya, dan juga menjadi dasar ketidak-tentuan-nya. Namun, sejak itu Soekarno dan Indonesia hampir tidak terpisahkan, baik bagi bangsanya, maupun bagi dunia: bagi Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Belanda kolonial, bagi fasisme Jepang, maupun bagi imperialis, Amerika dan Inggris-baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka.
Secara intelektual dan politik ketika Soekarno menganalisa soal dia menjadi Marxis. Ketika dia ingin menghanyutkan massa Soekarno menjadi Leninis dalam jalan pikiran. Namun, ketika harus memecahkan soal dalam masa krisis, dia menjadi lebih dekat kepada sesuatu yang sangat dibencinya yaitu menjadi fasis dalam berpikir dan bertindak. Karena itu dia dan militer seperti aur dan tebing, yang satu membutuhkan yang lain, meski kemudian dia dikhianati militer.
Dalam hubungan dengan gerak dan tindakan militer, Soekarno menempatkan persatuan jauh-jauh lebih penting, sesuatu yang sangat disukai militer, dari kemerdekaan, terutama dalam arti kebebasan-Soekarno menjadi anti-Soekarno-sesuatu yang mungkin lebih diperlukan warganya yang sudah lelah dan letih ditindas ratusan tahun, oleh tuan-tuan asing-putih-kuning, dan kelak tuan-tuan sawomatang dari bangsanya sendiri. Tidak ada orang lain yang lebih paham tentang penderitaan itu dari Soekarno.

NASIKH MANSUKH

Secara etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan atau eliminasi, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh .
Dalam segi terminologi, ternyata interpretasi ulama berbeda-beda antara ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin. Cakupan makna yang di usung ulama mutaqadimin, di antaranya Pembatalan hukum yang di tetapkan terdahulu oleh hukum yang di tetapkan kemudian, pengecualian hukum yang bersifat umum (‘am) oleh hukum yang lebih khusus yang datang setelahnya (Khas), bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar, ataupun penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. Pada intinya, ulama mutaqadimin mengusung makna naskh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhirnya atau terhapusnya suatu hukum, disebabkan adanya hukum baru yang di tetapkan. Namun, interpretasi naskh yang di usung oleh mereka juga menyangkut hukum yang bersifat pembatasan atau pengkhususan bahkan pengecualian .
Berbeda dengan cakupan makna yang di katakan oleh para ulama muta’akhirin. Jika memperhatikan interpretasi ulama mutaqadimin, maka hal ini akan berujung pada sebuah kerancuan antara makna naskh, takhsis, qayad istisna’ bahkan bada’. Padahal, antara naskh dan yang tersebut di atas mempunyai perbedaan yang mendasar. Naskh dengan takhsis misalnya. Letak perbedaan antara keduanya ada pada “pembatalan”. Jika Naskh merupakan proses eliminasi suatu hukum oleh hukum yang datang setelahnya. Maka Takhsis hanyalah sebuah spesifikasi hukum tanpa menanggalkan eksistensi ayat sebelumnya. Atau naskh dengan bada’. Letak perbedaan antara keduanya ada pada “pengetahuan” sang subyek atas obyek (Nasikh Mansukh). Karena, Bada’ merupakan proses peniadaan hukum dengan tanpa adanya faktor kesengajaan, atau dengan kata lain, sang subjek belum mengetahui akan adanya penghapusan hukum tersebut. Oleh karenanya, para ulama muta’akhirin mempersempit cakupan makna naskh dengan mendefinisikannya sebagai amandemen sebuah ketentuan hukum atau berakhirnya masa berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang datang kemudian .
A. Macam macam naskh.
Naskh ditinjau dari nash yang mansukh terbagi menjadi tiga macam :
1. Apa yang di-naskh hukumnya dan tertinggal lafadznya, dan ini banyak dalam Al-Qur’an.Contohnya : dua ayat Al-Mushobaroh yakni firman Alloh ta’ala : إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ
“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” [QS. Al-Anfal : 65]
Hukumnya di-naskh dengan firman Alloh ta’ala :
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفاً فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir. Dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.“ [QS. Al-Anfal : 66]
Dan hikmah di-naskhnya hukum tanpa lafadznya adalah tetap adanya pahala membacanya dan mengingatkan ummat tentang hikmah naskh tersebut.
2. Apa yang di-naskh lafadznya dan hukumnya tetap berlaku seperti ayat rajam, dan telah shohih dalam “Ash-Shohihain” dari hadits Ibnu Abbasrodhiyallohu anhuma dari Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu anhu, ia berkata :
كان فيما أنزل الله آية الرجم، فقرأناها وعقلناها ووعيناها ورجم رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ورجمنا بعده، فأخشى إن طال بالناس زمان أن يقول قائل: والله ما نجد الرجم في كتاب الله، فيضلوا بترك فريضة أنزلها الله، وإن الرجم في كتاب الله حق على من زنى، إذا أحصن من الرجال والنساء، وقامت البينة، أو كان الحبل، أو الاعتراف
“Dahulu diantara ayat yang Alloh turunkan adalah ayat rajam, maka kami membacanya, memahaminya, dan menghafalnya. Dan Rosullulloh shollallohu alaihi wa sallam melakukan hukum rajam dan kamipun melakukan hukum rajam setelah beliau, maka aku khawatir seandainya manusia telah melewati waktu yang panjang, seseorang akan berkata : Demi Alloh, kami tidak menemukan ayat rajam dalam kitab Alloh, maka mereka menjadi sesat dengan meninggalkan kewajiban yang telah diturunkan oleh Alloh, sesungguhnya rajam dalam Kitabulloh adalah hak terhadap orang yang berzina, jika laki-laki dan perempuan itu adalah muhshon (pernah menikah, pent) dan kejelasan (persaksian) telah ditegakkan atau hamil atau adanya pengakuan. ”
Dan hikmah di-naskhnya lafadz tanpa hukumnya adalah sebagai ujian bagi ummat dalam mengamalkan apa yang mereka tidak mendapatkan lafadznya dalam Al-Qur’an, dan menguatkan iman mereka terhadap apa yang diturunkan Alloh ta’ala, kebalikan dari keadaan orang yahudi yang berusaha menyembunyikan nash rajam dalam Taurot.
3. Apa yang di-naskh hukum dan lafadznya, seperti di-naskhnya sepuluh kali persusuan dari hadits Aisyah rodhiyallohu anha yang telah lalu .
B. Pendapat para ulama’
Tidak semua ulama mengamini legalisasi Nasikh Mansukh. Terlebih ulama-ulama kontemporer yang notabene lebih banyak berperan dalam proses liberalisasi al-Qur’an.
1. Pertama, Kelompok yang berpendapat tentang kemutlakan adanya Nasikh mansukh dalam al-Qur’an. Surat Al-Baqarah: 106, “Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”, merupakan salah satu dalil naqli untuk menjustifikasi pendapat mereka. Mereka menarik ayat yang di yakini sebagai prinsip dasar, dengan interpretasi “ayat” yang merupakan ketentuan-ketentuan hukum. Mereka menganggap tak ada alasan logis untuk menafikan adanya naskh-mansukh dalam al-Qur’an. Secara nalar, bukan sesuatu yang aneh dan mustahil saat kita mengatakan bahwa Allah Swt mengamandemen ayat-ayat yang di turunkannya. Pergantian syariat atau hukum yang menjadi landasan bagi manusia, justru menunjukkan elastisitas implementasi substansi yang di usung, karena di sesuaikan dengan dhuruf yang ada saat ayat itu berlaku .
Ungkapan ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya tafsir Al-Qur’an al Adzim, ketika mengcounter orang-orang Yahudi yang bersikeras ingin mempertahankan ajaran-ajarannya, dengan dalih sebuah kemustahilan jika Allah SWT. menganulir hukum-hukum yang telah di tetapkan dalam Taurat. Beliau mengatakan, "Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya. "
2. Kedua, kelompok yang menolak adanya Naskh secara Mutlak. Diantaranya, Abu Muslim al-Asyfihani, Muhammad Abduh, Muhammad Abid al-Jabiry, Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry, dan lain-lain. Kelompok ini secara frontal membalikkan alasan yang dikemukakan oleh para pendukung naskh. Jika para ulama (pendukung naskh) berpendapat bahwa nalar tidak melarang adanya Naskh Mansukh dalam al-Qur’an, maka sebaliknya. Seperti yang di kemukakan oleh Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry dalam bukunya La Naskha fi al-Qur’an, limadza?, bahwa sesuatu yang rasional tidak selalu mengindikasikan kepada hal-hal yang bersifat konkret. Pun dalam hal ini, meski secara nalar tak ada yang menghalangi adanya naskh dalam al-Qur’an, namun juga tidak mengharuskan adanya wujud konkret (al-wujud al-fi’ly) nya .
Sebab lain munculnya pro dan kontra ini adalah, perbedaan interpretasi pada lafadz “ayat” dalam surat Al-Baqarah 106. Jika ulama klasik menginterpretasikan kata “ayat” sebagai nash atau ayat al-Qur’an itu sendiri. Berbeda dengan makna yang di usung oleh ulama-ulama kontemporer yang masuk pada klasifikasi kedua ini. Seperti Muhammad Abid al-Jabiry dan Muhyiddin Abu Bakar ibn Araby yang di amini oleh Muhammad Abduh, lafadz “ayat” yang di maksud adalah mu’jizat. Sehingga makna yang di hasilkan adalah penghapusan mu’jizat dengan adanya mu’jizat yang muncul setelahnya. Dan itu merupakan salah satu gerak kultural dan natural. Seperti saat lenyapnya malam karena adanya siang, ataupun sebaliknya .
Berbeda dengan interpretasi yang di gagas oleh Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry dalam penolakannya terhadap Nasikh mansukh. “Ayat” disini di artikan sebagai syari’at. Sehingga, Naskh yang di maksud adalah Naskh syari’at terdahulu dengan syari’at Nabi Muhammad Saw yang notabene lebih sempurna dan relevan fi kulli zaman wa al-makan. Jadi, jika dikatakan ada naskh dalam al-Qur’an maka itu adalah pendapat batil .
3. Ketiga, kelompok yang mengamini terma ini, hanya saja dengan konsep yang berbeda dengan apa yang di utarakan oleh ulama konvensional. Atau mungkin dengan redaksi lain, yaitu kelompok yang menolak naskh tidak secara mutlak, namun menawarkan konsep baru. Sebut saja, Muhammad Syahrour atau Nasr Hamid Abu zayd. Jika konsep yang di usung oleh para ulama klasik adalah sebuah amandemen ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat yang turun setelahnya, maka konsep dasar yang di pake oleh kelompok ini adalah, naskh dengan makna “penangguhan” hukum. Yang mana hal ini mempunyai keterkaitan yang erat dengan relevansi ayat-ayat yang di nyatakan teranulir oleh sebagian ulama. Pasalnya, menurut mereka, sebenarnya tidak ada ayat al-Qur’an yang teramandemen. Maka, ayat-ayat yang di nyatakan mansukh oleh sebagian kalangan, secara otomatis akan bisa di tarik kembali untuk di aplikasikan lagi. Masing-masing mempunyai area sendiri. Maka, saat ayat-ayat tersebut di pandang perlu dan sesuai dengan kondisi yang ada, maka penarikan kembali ayat-ayat itu akan mendapat legitimasi pula .
Masing-masing kelompok mempunyai landasan yang cukup rasional dalam menuangkan pendapat mereka. Namun, inklinasi subjektif penulis lebih kepada pendapat ketiga yang menginterpretasikan kata naskh dengan penangguhan. Dengan memperhatikan salah satu fungsi naskh –seperti yang di ungkapkan Nasr hamid Abu Zayd dalam kitabnya Mafhum al Nash- sebagai penahapan dalam tasyri’ dan pemberian kemudahan, maka tidak di sangsikan bahwa tetap di tampilkannya teks-teks mansukh oleh realitas, apabila kondisi yang di hadapi kembali pada keadaan semula, sehingga mendukung dalam aplikasi teks tersebut.

JUAL BELI

DIFINISI
Menurut terminologi yang dimaksud dengan jual beli adalah:
1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan melepaskan hak milik dari seorang kepada seoarang yang lain atas dasar kerelaan.
2. Pemilikan harta benda dengan cara tukar menukar yang sesuai dengan aturan syara’.
3. Aqad yang terjadi atas dasar penukaran harta dengan harta, yang berfaedah untuk penukaran hak milik.
Dari difinisi di atas dapat disimpulkan bahwa subtansi dari jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar harta atau benda yang mempunyai nilai atas dasar sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain yang menerima sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dan dibenarkan oleh syara’.

RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Rukun jual beli ada tiga, yaitu:
1. Aqad (ijab qabul)
Aqad adalah ikatan kata antara penjual dan pembeli, jual beli belum dianggap sah sebelum ijab qabul dilaksanakan. Ijab qabul merupakan tanda lahir untuk mengetahui kerelaan di antara penjual dan pembeli, karena kerelaan adalah perkara yang berhubungan dengan hati maka cara untuk mengetahuinya adalah dengan wujudnya ijab qabul.
2. Orang yang beraqad (penjual dan pembeli)
Orang yang beraqad disyaratkan harus:
a. Mukalaf yaitu baligh dan berakal. Ini agar tidak terjadi penipuan diantara orang yang beraqad.
b. Beragama islam, syarat ini berlaku untuk khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam kepada pembeli yang bukan Islam.
3. Obyek aqad (ma’qud alaih)
Ma’qud ‘alaih adalah benda-benda atau barang-barang yang diperjualbelikan. Syarat-syarat ma’qud ‘alaih ini ialah:
a. Suci atau mungkin bisa untuk disucikan, maka tidak sah jual beli benda-benda yang najis, seperti anjing, kotoran dan lain sebagainya.
b. Dapat diambil manfaatnya menurut syara’, maka jual beli benda-benda yang tidak dapat diambil manfaatnya menurut syara’ tidak diperbolehkan seperti jual beli babi, cecak dan lain sebagainya.
c. Tidak ditaklikkan, ini maknanya tidak boleh jual beli benda atau barang dengan digantungkan atau dikaitkan dengan hal lain seperti; jika ayahku pergi motor ini kujual kepadamu.
d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan penjual: kujual motor ini kepadamu selama setahun, sebab jual beli adalah pemindahan hak milik secara sempurna yang tidak dibatasi apapun kecuali syara’.
e. Dapat diserahkan baik langsung maupun tidak, maka tidak sah menjual binatang yang telah lari dan tidak dapat ditangkap lagi atau menjual barang yang telah hilang.
f. Barang itu milik sendiri, ini berarti menjual barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya tidak sah.
g. Barang yang dijual dapat dilihat atau diketahui sifat-sifatnya seperti beratnya, banyaknya dan lain sebagainya.

MACAM-MACAM JUAL BELI
Jual beli dapat dilihat dari berbagi segi, di antaranya adalah:
1. Dari segi benda yang diperjualbelikan. Jual beli dalam hal ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Jual beli benda yang kelihatan.
Ini terjadi bila benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli pada waktu aqad, ini lazimnya yang banyak dilakukan oleh masyarakat, seperti membeli gula, beras dan lain sebagainya.

b. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam aqad.
Ini juga disebut dengan jual beli salam (pesanan). Salam adalah aqad terhadap sesuatu yang penyerahan barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika aqad. Menurut kebiasaan pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai.
Dalam jual beli salam ini berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahan. Adapun syarat-syarat tanbahannya adalah:
*. Ketika melakukan aqad salam disebutkan sifat-sifat barang yang ditransaksikan.
*. Dalam aqad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa menambah dan mengurangi barang tersebut.
*. Harga ditentukan pada waktu beraqad.

c. Jual beli benda yang tidak ada.
Jual beli benda yang tidak ada merupakan jual beli yang dilarang oleh Islam, karena barangnya masih tidak tentu dan tidak jelas, sehingga akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang lain.

2. Dari segi orang yang beraqad. Jual beli ini juga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Dengan lisan dan langsung.
Aqad jual beli ini yang biasa dilakukan oleh banyak orang,bagi orang yang punya uzur dalam hal lisan maka bisa diganti dengan isyarat-isyarat. Yang dipandang dalam aqad adalah maksud dan kehendak serta pengertian dari kedua belah pihak, bukan pembicaraan dan perkataan.
b. Dengan perantara.
Penyampaian aqad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan atau surat menyurat, aqad seperti ini seperti halnya ijab qabul dengan ucapan. Jual beli dengan aqad seperti ini dibolehkan menurut syara’.
c. Dengan perbuatan.
Jual beli dengan perbuatan atau dikenal dengan istilah mu’athah adalah mengambil dan memberikan barang tanpa ijab qabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah bertuliskanlabel harganya.

3. Dilihat dari hukumnya. Jaul beli ini terbagi menjadi:
a. Jual beli yang dibolehkan
Jual beli yang dibolehkan adalah jual beli yang telah memenuhi syarat rukunnya jual beli.
b. Jual beli yang dilarang
Jual beli yang dilarang ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
i. Jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah (batal)
Jual beli ini meliputi:
*. Barang yang dihukumi najis menurut agama, seperti anjing, babi dan lain sebagainya.
*. Jual beli sperma (mani) hewan.
*. Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
*. Jual beli dengan muhaqallah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih diladang atau di sawah.
*. Jual beli dengan mukhadarah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen.
*. Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar melempar.
*. Jual beli dengan menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.

ii. Jual beli yang dilarang tapi hukumnya sah,Cuma orang yang melakukannya mendapatkan dosa. Jual beli tersebut antara lain:
*. Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk kepasar, untuk membeli benda-bendanya dengan semurah-murahnya.
*. Menawar barang yang sedang di tawar oleh orang lain, seperi seseorang berkata”tolaklah harga tawarannya itu, nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih tinggi”.
*. Jual beli dengan najasiy, yaitu seseorang menambah atau melebihi harga temannya, dengan maksud memancing-mancing orang, agar orang itu mau membeli barang kawannya.
*. Menjual di atas penjualan orang lain, misalnya seseorang berkata”kembalikan saja barang itu kepada penjualnya, nanti barangku saja kau beli dengan harga yang lebih murah”.

KHIYAR DALAM JUAL BELI
Dalam proses jual beli, menurut Islam dibolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau membatalkannya, disebabkan terjadinya sesuatu hal. Khiyar ada tiga macam, yaitu:
1. Khiyar Majlis.
Khiyar majlis maksudnya antara penjual dan membeli boleh memilih akan melanjutkan atau membatalkan jual beli, selama keduanya masih ada dalam satu majlis.
2. Khiyar ‘Aib.
Khiyar ‘aib artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaanbenda-benda yang diperjualbelikan, seperti seorang pembeli berkata;”saya beli mobil itu dengan harga sekian,jika mobil itu cacat akan saya kembalikan”.
3. Khiyar Syarat.
Khiyar syarat adalah penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh pembeli maupun penjual, seperti seseorang berkata;”saya jual rumah ini dengan harga 100.000.000,-dengan syarat khiyar-selama tiga hari”.
Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8) adalah kerajaan Hindu di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Berdasarkan catatan yang terdapat pada prasassti yang ditemukan, Kerajaan Mataram Kuno bermula sejak pemerintahan Raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Ia memerintah Kerajaan Mataram Kuno hingga 732M.

Atas : Komplek Candi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, merupakan peninggalan candi Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama Hindu dan Buddha.
Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara lain ialah Candi Geding Songo, kompleks Candi Dieng, dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu. Adapun yang berlatar belakang agama Buddha antara lain ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan.
Kerajaan Mataram di Jawa Tengah
Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya dan Sailendraa. Pendiri wangsa Sanjaya adalah Raja Sanjaya. Ia menggantikan raja sebelumnya, yakni Raja Sanna. Konon, Raja Sanjaya telah menyelamatkan Kerajaan Mataram Kuno dari kehancuran setelah Raja Sanna wafat.
Setelah Raha Sanjaya wafat, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, pendiri wangsa Sailendra. Para raja keturunan wangsa Sanjaya seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, dan Sri Maharaja Rakai Garung merupakan raja bawahan dari wangsa Sailendra. Oleh Karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh keturunan Raja Sanjaya, Samaratungga (raja wangsa Sailendra) menyerahkan anak perempuannya, Pramodawarddhani, untuk dikawinkan dengan anak Rakai Patapan, yaitu Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya).


Rakai Pikatan kemudian menduduki takhta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke P. SUmatra dan menjadi raja Sriwijaya.
Pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran Kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan G. Merapi, Magelang, Jawa Tengah.
Kerajaan Mataram di Jawa Timur
Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sindok, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh (wilayah antara G. Semeru dan G. Wilis), Jawa Timur. Mpu Sindok naik takhta kerajaan pada 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan yang didirikan Mpu SIndok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluass hingga ke Jawa Timur. Setelah masa pemerintahan Mpu Sindok terdapat masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga (1020). Sampai pada masa ini Kerajaan Mataram Kuno masih menjadi saatu kerajaan yang utuh. Akan tetapi, untuk menghindari perang saudara, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Kerajaan Pangjalu dan Janggala.

Mengenal Yusuf al-Qaradhawi Lebih Dekat

Mengenal Yusuf al-Qaradhawi Lebih Dekat
Yusuf al-Qaradhawi merupakan sosok yang telah lama malang
melintang dalam dunia pemikiran ke-Islam-an hingga akhirnya menjadi
salah satu tokoh terkemuka di dalamnya. Berbagai lahan studi Islam
menjadi perhatiannya, mulai dari studi mengenai al-Qur`an, sunnah,
tafsir, fikih, ekonomi Islam, masalah perempuan, hingga dunia sastra pun
tidak dikesampingkan olehnya. Dalam bidang yang terakhir ini (sastra),
selain menulis sejumlah dîwân syi’ir (kumpulan syair) al-Qaradhawi telah
menghasilkan dua karya yang berbentuk dialog drama yaitu Yusuf ash-
Shiddiq dan ‘Alim wa ath-Thagiyah.
Sikapnya yang terbuka dan moderat serta mau berdialog dengan semua
kalangan menjadikan pemikirannya progresif dan inovatif serta mempunyai
akar yang kuat. Pada akhirnya hal itu membuatnya mampu menjawab
masalah-masalah kontemporer secara cerdas dan cermat serta diterima
kebanyakan umat Islam.
Dalam dunia fikih al-Qaradhawi menawarkan gagasannya-gagasannya,
di antaranya adalah fiqh al-Muwâzanah (fikih keseimbangan), fiqh al-wâqi’
(fikih realitas), fiqh al-aulawiyyât (fikih prioritas), fiqh al-maqâsid alsyarî’ah
dan fiqh at-taghyîr (fikih perubahan).
- 40 -
Blog: http://kangsalim79.blogspot.com, Email: aburoyyan96@gmail.com; salimira2006@yahoo.com
Karya-karya al-Qaradhawi hingga saat ini sudah mencapai ratusan dan
telah tersebar ke seluruh penjuru dunia, khususnya dunia Islam, dari
belahan Timur sampai belahan Barat dan telah diterjemahkan dalam
berbagai bahasa.
Dalam menghadirkan sosok al-Qaradhawi dalam tulisan ini,
pembahasan akan dibatasi pada tiga hal, yaitu informasi dasar mengenai
al-Qaradhawi, sosok yang berpengaruh pada pemikiran al-Qaradhawi, serta
al-Qaradhawi dan fikih.
1. Informasi Dasar mengenai al-Qaradhawi
Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf al-Qaradhawi6 lahir di Mesir
tanggal 9 September 1926. Bapaknya meninggal karena sakit ketika usianya
masih dua tahun. Di negara tersebut beliau menghabiskan separuh
hidupnya sebelum akhirnya pindah ke Qatar. Pada masa kecilnya beliau
sudah mampu menghafal a-Qur`an dengan baik pada saat usianya belum
genap 10 tahun.
Beliau menempuh semua jenjang pendidikannya di Lembaga Islam al-
Azhar, Mesir. Menyelesaikan strata S1 pada tahun 1953 di Fakultas
Ushuluddin dan memperoleh Diploma mengajar pada tahun 1954. Pada
6 Kata al-Qaradhawi diambil dari nenek moyang Yusuf al-Qaradhawi yang berasal dari
sebuah desa yang bernama Qaradhah, yang terletak di propinsi Kafr as-Syaikh, Mesir.
Banyak orang yang membaca kata al-Qaradhawi dengan bacaan “al-Qardhawi” tanpa huruf
a yang terletak antara huruf r dan huruf d, hal ini pernah dijelasakan oleh Yusuf al-
Qaradhawi bahwa yang benar adalah dengan mengguakan “fathah” pada ra’-nya al-
Qaradhawi bukan dengan “sukun”.
- 41 -
Blog: http://kangsalim79.blogspot.com, Email: aburoyyan96@gmail.com; salimira2006@yahoo.com
tahun 1960 menyelesaikan masternya di jurusan Tafsir Hadits. Kemudian
pada tahun 1973 meraih gelar doktor dengan disertasi: Az-Zakâh wa
`Atsâruhâ fi Halli al-Musykilât al-Ijtimâ’iyyah, yang kemudian dicetak
dengan judul Fiqhu az-Zakâh: Dirâsah Muqâranah li `Aħkâm ihâ wa
Falsafatihâ fi Dhau`’i al-Qur’ân wa as-Sunnah.
Dalam meniti karir, al-Qaradhawi pernah bekerja Menjadi Pengawas
Masalah Keagamaan di Kementerian Wakaf Mesir, Kemudian beliau bekerja
di kantor Pengembangan Budaya Ke-Islam-an di Al Azhar. Tahun 1961
beliau bertugas di Qatar dan menjadi Kepala Ma’had Tsanawy di sana.
Tahun 1973 setelah Fakultas Tarbiyah dibuka di Universitas Qatar beliau
memprakarsai didirikannya Jurusan Studi Islam. Pada tahun 1990 beliau
bertugas ke Aljazair dan setelah itu kembali lagi ke Qatar sebagai Direktur
Pusat Studi Sunnah dan Sirah. Beliau aktif di beberapa Majma’ dan
Lembaga-lembaga Ilmiah dan Dakwah, di antaranya: Majma’ Fikih Rabithah
‘Alam Islamy di Makkah, Majma’ Buhus al-Hadharah al-Islamiyah di
Yordania, Pusat Studi Islam di Oxford, Majelis Pemangku Amanat
Universitas Islam Internasional Islamabad serta menjadi pimpinan beberapa
Badan Pengawas Syari’ah di berbagai Perbankan Islam.
Al-Qaradhawi telah menjelajah ke banyak negara dalam kegiatan
dakwah dan aktivitas ilmiyah, baik di Asia, Afrika, maupun di negaranegara
minoritas Islam. Selain itu beliau juga sering diundang dalam
memberikan presentasi dan kuliah serta seminar-seminar internasional.
- 42 -
Blog: http://kangsalim79.blogspot.com, Email: aburoyyan96@gmail.com; salimira2006@yahoo.com
Al-Qaradhawi saat ini tinggal di Qatar menjadi Koordinator Pusat
Pengkajian Sunnah dan Sirah Nabawiyyah.
2. Sosok yang Berpengaruh pada Pemikiran al-Qaradhawi
Manusia adalah sosok yang merupakan hasil bentukan lingkungan di
mana dia hidup. Demikian halnya dengan pola pikir, seseorang sangat
mungkin terpengaruh dengan pola pikir yang orang-orang yang ada di
sekelilingnya.
Pada diri al-Qaradhawi, sedikit banyak dia terpengaruh dengan
kepribadian para tokoh yang pernah dikenalnya, baik melalui bacaan
maupun interaksi langsung. Di antara tokoh yang mempengaruhi al-
Qaradhawi secara tidak langsung, dalam arti melalui bacaan adalah Abu
Hanifah (madzhab Hanafi), Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Al-Qarafi, dan
Ibnu ‘Abidin. Pemikiran ulama-ulama tersebut sangat berpengaruh dalam
sikap al-Qaradhawi dalam berfikih. Hal itu terlihat dari seringnya al-
Qaradhawi mengutip nama-nama mereka, terutama untuk mendukung
adanya perubahan fatwa karena adanya perubahan zaman, tempat,
keadaan dan kebiasaan suatu masyarakat.
Sedangkan para tokoh yang berpengaruh secara langsung (melalui
interaksi) terhadap al-Qaradhawi di antaranya adalah al-Hasan al-Banna,
pendiri sekaligus pemimpin organisasi al-Ikhwân al-Muslimûn, serta
beberapa tokoh lain seperti Syeikh Muhammad Khidhr Husein, Syeikh
- 43 -
Blog: http://kangsalim79.blogspot.com, Email: aburoyyan96@gmail.com; salimira2006@yahoo.com
Mahmud Syaltut, Dr. Abdul Halim Mahmud, syeikh al-Bahi al-Khuly, Syeikh
Muhammad al-Ghazali dan Sayyid Sâbiq.
Dari nama-nama yang disebutkan di atas, Hasan al-Banna merupakan
tokoh yang paling banyak berpengaruh dalam diri al-Qaradhawi,
sebagaimana diakuinya dalam biografi yang ditulisnya sendiri yang berjudul
Ibnu al-Qaryah wa al-Kitâb, dikatakan olehnya:
“aku telah mulai mendengarkan pengajian al-Banna semenjak
masih duduk di kelas satu madrasah ibtida’iyyah (sekolah dasar).
Semenjak saat itu aku sudah kagum dengan kepribadiannya, dan
hatiku telah dipenuhi dengan cinta kepadanya. Jika dalam dunia
percintaan dikenal adanya cinta dari pandangan pertama, maka
dalam dunia dakwah mungkin ini dikatakan sebagai cinta dari awal
mendengar”.
Semenjak saat itu al-Qaradhawi banyak mencurahkan perhatiannya
terhadap al-Banna hingga akhirnya banyak mendapatkan pelajaranpelajaran
darinya. Di antara pemikiran al-Banna yang menancap dalam diri
al-Qaradhawi adalah mengenai 3 permasalahan yang harus diselesaikan,
yaitu permasalahan skala kecil (dalam negeri), skala menengah (dunia
Arab), dan skala besar (dunia Islam). Dengan ini baik secara langsung
maupun tidak langsung al-Qaradhawi banyak terpengaruh oleh al-Banna,
terutama semangatnya dalam berdakwah.
- 44 -
Blog: http://kangsalim79.blogspot.com, Email: aburoyyan96@gmail.com; salimira2006@yahoo.com
Dalam hal fikih, al-Qaradhawi adalah sosok yang anti fanatisme
madzhab, karena menurutnya, berkutat hanya dalam satu madzhab
tertentu akan mempersempit dan menyulitkan diri dalam berfikih. Dalam
hal ini al-Qaradhawi (1998: 2/18) sering mengulang-ulang perkataan Imam
al-Ghazali, yang bermadzhab Syafi’i, dalam Ihya` ‘Ulûm ad-Dîn ketika
memberikan komentar terhadap imam madzhabnya, bahwa dia (al-Ghazali)
dalam masalah air lebih tertarik pada pendapat Imam Malik, dan kemudian
ia mengemukakan tujuh macam alasan untuk memperkuat Imam Malik.
Jika dirunut ke belakang, pola pikir al-Qaradhawi tersebut disebabkan
adanya keyakinan dalam dirinya bahwa perkataan dan pendapat orangorang
terdahulu harus ditimbang berdasarkan al-Qur`an dan sunnah,
sebagaimana diajarkan oleh al-Banna.
Dengan pola pikir semacam itu, ketika al-Qaradhawi melihat
metodologi fikih yang dianut oleh Sayyid Sabiq yang mendasarkan fikihnya
kepada al-Qur`an dan sunnah (fiqh as-sunnah) al-Qaradhawi menjadi
terpengaruh dan menirunya. Hal itu diakuinya dalam sendiri dalam
bukunya Hadyu al-Islam Fatawa Muashirah (1998: 1/17).
Di samping itu, pergaulan intensif al-Qaradhawi dengan para tokoh al-
Ikhwân al-Muslimûn dan para ulama Al-Azhar juga mempunyai andil
tersendiri dalam membentuk karakternya, sehingga al-Qaradhawi banyak
mengenal dan belajar hampir seluruh ilmu-ilmu ke-Islam-an, dari ilmu alat
- 45 -
Blog: http://kangsalim79.blogspot.com, Email: aburoyyan96@gmail.com; salimira2006@yahoo.com
(nahwu, sharaf) hingga filsafat. Hal itu menjadi modal bagi al-Qaradhawi
untuk menjadi pribadi yang matang.
Kematangan al-Qaradhawi semakin mencapai puncaknya dengan
banyaknya pengalaman yang didapatkannya melalui perjalanan ke negaranegara
di dunia, baik di negara mayoritas muslim maupun di negara
minoritas muslim. Hal inilah yang pada akhirnya membuka paradigma al-
Qaradhawi dalam menyikapi permasalahan. Dalam menyikapi realitas
kehidupan muslim di negara-negara minoritas muslim, misalnya, al-
Qaradhawi mengetengahkan idenya mengenai fiqh al-aqalliyât almuslimah
(fikih minoritas).