Selasa, 03 Mei 2011

HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS

HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS
A. Pengertian
Pertama kali istilah ini dikenal dengan nama Hukum Pidana Khusus namun, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Secara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena itu yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal.
Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU Pidana merupakan indicator, apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan “Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri”.

B. Dasar hukum dan kekhususan.
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002. Hk. Tp. Khusus mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang dari Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
1. Ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
Perundang-undangan Pidana :
a. UU pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari Negara.
b. Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana terhadap aturan yang berada di luar hukum pidana umum.
Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada 5 substansi.
1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004).
2. UU yang memuat ketentuan pidana, makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU Nov 26/2000).
3. UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003)
4. UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer)
Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan Hukum administrasi ( HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan). Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
C. Kekhususan T.P. Khusus.
Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan / orang-orang tertentu.
1. Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hk. Pidana Materil. (Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan HPU dan dapat berupa menentukan sendiri yg sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketntuan khusus (ket.khs).
1.1. Hukum Pidana bersifat elastis (keterangan khusus).
1.2. Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman. (menyimpang)
1.3. Pengaturan tersendidiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (ket. khs)
1.4. Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstera teritorial). (menyimpang/ket.khs)
1.5. Sub. Hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan perekonomian negara. (ket.khs)
1.6. Pegawai negeri merupakan sub. Hukum tersendiri.(ket. khs).
1.7. Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menetukan menjadi tindak pidana. (ket.khus).
1.8. Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi. (menyimpang)
1.9. Perampasan barang bergerak , tidak bergerak (ket. khs)
1.10. Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU itu.(ket.khs).
1.11. Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs)
1.12. Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs)
1.13. Tindak pidananya dapat bersifat politik ( ket.khs).
1.14. Dapat pula berlaku asas retro active.
2. Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal.
1. Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa , Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain.
3. Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa TP Korupsi.
4. Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian Negara.
5. Perkara pidana Khusus di adili di Pengadilan khusus (HPE).
6. Dianutnya Peradilan In absentia.
7. Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank.
8. Dianut Pembuktian terbalik.
9. Larangan menyebutkan identitas pelapor.
10. Perlunya pegawai penghubung.
11. Dianut TTS dan TT.

D. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu.
Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus :
1. Hukum Pidana Ekonomi (UU No 7 Drt 1955).
2. Tindak pidana Korupsi.
3. Tindak Pidana Terorisme.

1. Hukum Pidana Ekonomi.
a. Pengertian, dan dasar Hukum.
UU No 7 Drt 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk defe-nisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e.. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana ekonomi.
Tujuan dibentuknya UU No 7 Drt 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan perundang-undangan tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi.
b. Kekhususan Hukum Pidana Ekonomi.
Hukum Pidana Ekonomi mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang lain. Menurut Andi Hamzah kekhususan yang dimaksud adalah:
1. Peraturan hukum pidana ekonomi bersifat elastis mudah berubah- ubah.
2. Perluasan subjek hukum pidana (pemidanaan badan hukum).
3. Peradilan in absentia.
4. Percobaan dan membantu melakukan pada delik ekonomi.
5. Pembedaan delik ekonomi berupa kejahatan dan pelanggaran.
6. Perluasan berlakunya hukum pidana.
7. Penyelesaian di luar acara (schikking).
8. Perkara TPE diperiksa dan diadili di Pengadilan Ekonomi.
9. Hakim, Jaksa dan Panitera adalah hakim.Hakim, jaksa pada pengadilan ekonomi dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi.
10. Pengadilkan ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi.
c. Perumusan Tindak Pidana Ekonomi
Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e Pasal 1 sub 1e sudah mengalami beberapa kali perubahan. Tindak pidana pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU No 7 Drt 1955. Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, Tindak pidana ekonomi dalam UU No 7 Drt 1955 ini lebih bersifat hukum administrasi.
• Tindak pidana berdasarkan Ps 26.
Tindak pidana Ps 26 merupakan pelanggaran karena tidak mengindahkan tuntutan pegawai pengusut (selanjutnya disebut penyidik). Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Ps 26 harus diketahui dulu bahwa yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi bukan tindak pidana lain. Sebab apabila yang disidik itu bukan tindak pidana ekonomi bagi yang tidak mengindahkan tuntutan penyidik dikenakan ketentuan Ps 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik diberlakukan Ps 26. Tuntutan sebagai mana dimaksud dalam Ps 26 adalah :
a. Tuntutan menyerahkan untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps 18 ayat (1).
b. Tuntutan untuk diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu nuntuk diketahui penyidik agar penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik baik -nya. (Ps 19 ayat (1).
c. Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang-jika hal itu dipandang perlu oleh penyidik untuk memeriksa barang-barang itu (Ps 22 ayat (1).
• Tindak Pidana berdasarkan Pasal 32.
Tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Ps 32 ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan :
a. Pidana tambahan seperti termuat dalam Pasal 7 ayat (1) a,b, atau c.
b. Tindakan tatatertib seprti dalam Pasal 8.
c. Suatu peraturan seperti terdapat dalam Pasal 10.
d. Tindakan tatatertib sementara. Seperti pada Pasal 27 dan 28.
e. Atau menghindari ketentuan a,b,c atau d tersebut di atas.
Rumusan lengkap Ps 32 sebagai berikut :“Barang siapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Ps 7 ayat (1) a, b atau c, dengan suatu tindakan tatatertib seperti tercantum dalam Ps 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam Ps 10 atau dengan suatu tindakan tatatertib sementara atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tatatertib, peraturan, tindakan tatatertib sementara seperti tersebut di atas”

• Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 33.
Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 33 ini mirip dengan ketentuian Pasal 32 di atas. Perbedaannya terdapat pada unsur menarik bagian – bagian kekayaan untuk dihindarkan dari beberapa tagihan atau pelaksanaan hukuman, tindakan tatatertib, atau tindakan tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan UU No 7Drt 1955.
Rumusan secara lengkap sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan perataraan orang lain , menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini.”
Ps 33 ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi jika orang yang dengan sengaja baik sendiri maupun perantaraan orang lain:
a. Menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu pidana atau.
b. Tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib sementara yang dijatuhkan kepada-nya berdasarkan UU No 7 drt 1955, karena sering orang mengghindari dari hukuman kekayaan itu. Berarti untuk dapat dukenakan Pasal 33 hanya terbatas terhadap :
a. Tagihan-tagihan.
b. Pelaksanaan suatu tindakan tatatertib.
c. Pelaksanaan suatu tindakan tatatertib sementara, yang kesemuanya a,.b,c harus berdasarkan UU No 7 Drt 1955.
Ps 399 KUHP merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengurus atau pembantu suatu korporasi yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan hakim untuk menyelesaikan urusan perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi dengan jalan penipuan terhadap hak penagih. Kegiatan yang dilakukannya :
1. Menyembunyikan keuntungan atau melarikan suatu barang dari harta bendanya.
2. Memindahkan sesuatu barang baik dengan menerima uang.
3. Menguntungkan salah seorang yang berpiutang padanya dengan jalan apapun juga pada waktu jatuh pailit atau penyelesaian urusan dagang.
4. Tidak mencukupi kewajibannya dalam mencatat segala sesuatu.
• Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Ps 1 sub 3e.
Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal ini hingga tahun 1965 ada tiga undang-undang yang menyatakan pelanggaran terhadap undang-undang itu sebagai tindak pidana ekonomi.
1. UU No 8 Prp tahun 1962 LN No 42 tahun 1962 tentang Perdagangan barang-barang dalam pengawasan.
2. UU No 9 Prp tahun 1962 LN No 43 tahun 1962 tentang Pengendalian harga.
3. UU No 11 tahun 1965 LN No 54 tahun 1965 tentang Pergudangan.
d. Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 terdapat perbedaan dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus maupun pada tindak pidana umum. Tingkat pertama Peradilan tindak pidana ekonomi diatur dalam Ps 35, Ps 36, Ps 37, Ps 38 Ps 39. Pada tingkat Banding diatur dalam Ps 41, Ps 42, Ps 43, Ps 44, Ps 45 dan Ps 46.. Pada tingkat kasasi diatur dalam Ps 47, Ps 48.
Pada tingkat pertama, Ps 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Dan Ps 35 ayat (2) dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonimi adalah pengadilan ekonomi.
Menurut Ps 36 seorang Hakim atau Jaksa pada pengadilan ekonomi itu dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. dalam Ps 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan pengadilan ekonomi. Dalam Ps 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan pengadilan ekonomi.

e. Badan-Badan Pegawai Penghubung
Badan ini diwajibkan memberikan bantuan kepada penyidik, Jaksa, dan Hakim baik di luar maupun di dalam Pengadilan.

f. Tindakan Tata tertib Sementara.
Tindakan tatatertib sementara diatur dalam Ps 27 dan Ps 28 UU No 7 Drt 1955. Instansi yang berwenag mengambil tindakan tetatertib sementara ini adalah Jaksa sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps 28 ayat (1) UU No 7 Drt 1955.
a. Syarat pengambilan Tatatertib sementara adalah.
1. Ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan tersangka.
2. ada keperluan untuk mengadakan tindakan-tindakan dengan segera terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar oleh tersangka.
b. Waktu pengambilan tindakan tetatertib sementara:
1. Bagi jaksa selama pemeriksaan dimuka pengadilan belum dimulai (Ps 27 ayat (1).
2. Bagi hakim sebelum pemeriksaan di muka pengadilan .(Ps 28 ayat (1)
c. Tujuan pengambilan tindakan tetatertib sementara.
1. supaya tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
2. supaya tersangka berusaha agar barang-barang yang disebut dalam perintah untuk diadakan tindakan tatatertib sementara yang dapat disita, dikumpulkan dan disimpan ditempat yang ditunjuk dalam perintah tersebut.

d. Tindakan Melaksanakan Tindakan Tetatertib Sementara:
1. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dimana pelaggaran hukum disangka telah dilakukan;
2. penempatan perusahaan tersangka dimana tindak mpidana ekonomni itu disangka telah dilakukan, dibawah pengampuan.
3. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada tersangka berhubung dengan perusahaan itu.
Apabila Jaksa sudah melaknakan, maka hakim berdasarkan ketentuan Ps 28 ayat (3) dapat mengambil keputusan :
a. Memperpanjang tindakan tata tertib sementara satu kali selama lamanya 6 (enam) bulan atas dasar hakim karena jabatannya, atau tuntutan jaksa.
b. Mencabut atau merubah tindakan tatatertib sementara yang diambil Jaksa atas dasar hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa, atau permohonan terdakwa.

Tindakan tata tertib semntara yang diambil oleh hakim dapat diperpanjang dengan satu kali selama-lamanya 6 bulan, atau diubah atau dicabut:
1. Oleh hakim karena jabatannya.
2. Atas tuntutan jaksa
3. Atas permohonan terdakwa.
Mengingat tindakan tata tertib sementara kemungkinan dapat menimbulkan kerugian yang besar, maka berdasarkan Ps 31 mengatur ketentuan mengganti kerugian jika tindak pidana ekonomi itu berakhir dengan:
1. Tidak dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tata tertib.
2. Di jatuhkan pidana pokok atau tindakan tetatertib sehingga tindakan tata tertib sementara yang dijatuhkan dipandang terlalu berat.

g. Sanksi
Sanksi pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps 6 ayat (1). yaitu sanksi pidana penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternatif, maksudnya dijatuhkan dua sanksi pidana pokok sekaligus (pidana penjara dan denda) atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu.
Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan pemberatan:
• UU No 8 Drt 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap keten-tuan Ps 1 sub 1e.
• UU No 5/ PNPS/ 1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap ketentuan Hukum Pidana Ekonomi, tindak pidana korupsi , tindak pidana dalam buku ke II Bab I dan II KUHP.
• Untuk dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu :
a. Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu yang sesingkat singkatnya;
b. Menyelenggarakan keamanan rakyat dan Negara.
c. Melanjutkan perjuangan menentang imprealisme ekonomi politik (Irian Barat).
• UU No 21 /Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman pidana denda yang semulanya satu juta berdasarkan UU No 8/Drt/1958 dikalikan dengan 30.
• Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak pidana, dan berlakunya ketentuann hukum pidana.
• Ketentuan dalam UU No. 31/ 1999 jo UU No 30/2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat melakukan penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi dan dapat mengambil alih perkara tindak pidana korupsi baik pada tingkat penyidikan dan atau penuntutan (Ps 8 UU No 30/2002).
• Menurut Hukum Pidana (KUHAP) penyidik adalah POLRI, PPNS tidak ada disebutkan badan lain.
• UU No 7 Drt 1955 dikenal sebagai Hukum Pidana Ekonomi.
• Schikking setelah berlakunya UU No 10/1995 dan UU No 11/1999 tidak berlaku lagi.
• Kata pengusut adalah istilah yang dikenal dalam HIR yang artinya sama dengan penyidik dalam KUHAP.
• Pertama kali ada pendidikan untuk hakim dan Jaksa pada sekolah hakim dan jaksa. (SHD) setelah tahun 60 an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar