Selasa, 16 Agustus 2011

Bangsa Kita Tak Pede Lagi

Sujiwo Tejo:
Sebagai bangsa kita sudah kehilangan rasa percaya diri (pede). Dan, ujar Sujiwo Tejo, dalang, penulis, pelukis, sutradara, aktor, dan pemusik, dalam perbincangan dengan Suara Merdeka, Jumat (12/8), kita pun sudah kehilangan kepercayaan pada para tokoh di negeri ini. Akhirnya, negeri ini pun kehilangan kedaulatan,baik secara politik, ekonomi, maupun kultural.

Kenapa kini kita tak berdaulat secara ekonomi, kultural, dan politik?

Karena kita tak percaya lagi pada para tokoh di negeri ini. Nah, ketika kita tak percaya lagi pada para tokoh itu, tiba-tiba seperti dipaksa terus dan harus percaya pada mereka. Meski kita semua tahu, tak ada tokoh yang bisa dipercaya lagi.

Contoh terkini kasus Nazaruddin. Banyak tokoh di negeri ini, juga Presiden, mengatakan sebaiknya kasus Nazaruddin diserahkan ke jalur hukum. Namun siapa percaya sistem hukum di Indonesia saat ini dapat berjalan baik dan adil? Siapa mampu menjamin kasus hukum Nazaruddin tidak dipermainkan sedemikian rupa? Sebagian tokoh menyatakan alangkah baik Nazaruddin diserahkan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), karena lebih terjamin keobjektifannya. Siapa bisa menjamin tak terjadi kecurangan di sana?

Itulah faktanya. Dan kita sedang berada dan melewati masa ketidakpercayaan pada para tokoh negeri ini, entah sampai kapan.

Mungkin kalau kita komparasikan dengan dunia anak-anak, Indonesia saat ini nggreges-nggreges atau demam. Kalau itu bisa kita lewati, kemungkinan besar Indonesia menjadi dewasa. Selain itu, ada paradigma bernegara yang keliru di negeri ini. Sebagaimana dikatakan penyair AS yang dikutip Presiden John F. Kennedy, “Jangan pernah tanyakan kepada negara apa yang telah negara berikan kepadamu, tetapi tanyakanlah pada dirimu apa yang telah engkau berikan kepada negara.” Paradigma itu sangat keliru. Seharusnya ungkapan itu dibalik, “Apa yang bisa diberikan negara kepada kita sebagai warga bangsa.” Jadi pemimpin tak akan leha-leha, kemudian berlindung di balik ungkapan itu, sementara mereka tak melakukan apa-apa. Apa gunanya negara kalau tak mampu memberikan apa-apa pada warga negaranya?

Contoh sederhana, ketika masyarakat harus mengenakan helm ketika berkendaraan di jalan raya. Apa dasarnya harus memakai helm? Supaya kalau kecelakaan, tidak celaka dan tidak mati di jalan. Namun kalau tidak mati di jalan, apakah negara memberikan sesuatu? Kalau tidak mati di jalan, negara mau apa? Apakah negara memberikan jaminan kesehatan? Pendidikan gratis? Perlindungan mendasar? Memenuhi kebutuhan pokok? Toh kalaupun mati di jalan, kita sendiri yang mengurusi semua tetek-bengek. Berarti ada yang salah dengan UU Lalu Lintas.

Apa variabel determinan yang menyebabkan ketidakberdaulatan kita?

Rasa rendah diri! Itulah yang aku ajukan sebagai syarat untuk calon presiden mendatang, yakni rasa percaya diri. Itu urutan pertama. Bukan riwayat pernah korupsi atau tidak. Kalau syarat belum pernah korupsi diajukan, tak ada orang bebas korupsi di negeri ini. Yang utama tetaplah rasa percaya diri atau jangan pernah sekalipun punya riwayat minder. Mengapa minder lekat dengan bangsa Indonesia? Karena para tokoh dan pengajar di negeri ini, juga kita secara umum, lebih senang menceritakan dan mengunggulkan bangsa lain daripada bangsa sendiri. Contohnya, kita lebih gemar bercerita tentang etos kerja bangsa China, Jepang, Korea, Amerika, dan Eropa. Kita nyaris tak pernah bercerita tentang Soekarno, yang sejak mula selalu mengatakan dengan lantang, “Berdiri di atas kaki sendiri!” Jadi sepemahaman saya, hanya Bung Karno yang tak punya riwayat minder. Anda bisa lihat bagaimana pembelaannya ketika ditahan di Bandung berjudul “Indonesia Menggugat”, tidak ada sedikit pun keminderan terbaca di sana. Beda, misalnya, dari kasus Richard Gere yang baru-baru ini mampir ke Indonesia. Seorang pembawa acara stasiun TV mengatakan, “Kita beruntung karena kedatangan Richard Gere ke Candi Borobudur, jadi pariwisata Indonesia makin dikenal di dunia internasional dan bla-bla-bla.” Seharusnya, pemikiran minder itu dibalik, “Richard Gere beruntung karena berhasil mendatangi Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia.” Atau, bagaimana banyak instansi di negeri ini gemar meng-hire para pekerja asing, dengan harapan ketika para pekerja asing itu melakukan negosiasi bisnis dengan pejabat negara, pejabat negara minder.

Contohlah Agus Salim, yang meski senantiasa makan dengan tangan, dalam setiap perjanjian di luar negeri selalu memenangkan Indonesia. Karena itu, kerendahdirian harus kita buang jauh-jauh.

Apakah itu berkait dengan kemungkinan kehilangan daya hidup, etos kerja, dan kreativitas kita sebagai bangsa?

Sejatinya kita bangsa yang kreatif. Lihatlah anak-anak kita yang telah menemukan energi surya. Anak SMP di berbagai tempat yang memenangi berbagai olimpiade fisika, matematika, dan olimpiade keilmuan lain di tingkat dunia. Atau, bagaimana anak-anak di Pasuruan bisa menjadi nomor satu dalam tanding ilmu pasti. Intinya, banyak potensi di negeri ini, banyak ahli komputer yang tak tertandingi. Etos kerja kita sangat punya, hanya masalahnya etos kerja itu tidak disebut oleh orang kita sendiri. Karena, kita berkecenderungan lebih gemar menyebut etos kerja orang Jerman, Jepang, Korea.

Seharusnya kita, juga para guru-guru, bercerita betapa hebat etos kerja para petani Indonesia, yang harus bangun subuh untuk pergi ke sawah dan ketika matahari terbit para istri berdatangan ke sawah membawa sarapan untuk para suami. Bagaimana para nelayan mempunyai ketabahan dan keberanian sangat luar biasa. Meski harga solar melambung tinggi, mereka tetap melaut, meski tangkapan tidak pasti dan bisa saja mati tertelan ombak bersama perahu. Atau, bagaimana pedagang di pasar-pasar tradisional itu pada pagi-pagi buta bergelantungan di mobil bak terbuka. Melanjutkan mimpi di atas tumpukan sayur yang hendak dijual di pasar atau di mana pun. Apakah kita tidak bangga dengan etos kerja sedemikian luar biasa itu? Atau bagaimana para mbok itu dengan barang dagangan di pinggul yang melebihi berat tubuhnya berjalan berkilometer-kilometer demi keuntungan tak seberapa, tetapi semua itu mereka lakukan secara sukacita.

Pokok ceritanya, kita lebih gemar menyebut bangsa lain dari pada melihat diri sendiri. Itulah yang berdampak terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan budaya. Politik kita sudah tak percaya pada para pelakunya, budaya kita sudah tak percaya pada diri sendiri. Secara ekonomi, kita lebih suka mengimpor produk dari mancanegara daripada berproduksi sendiri. Karena untuk memproduksi, biaya dan kendalanya jauh lebih tinggi daripada sekadar mengimpor. Contoh konkret, akhirnya kita mendatangkan film Harry Potter and Deathly Hollow Part 2, padahal masih ada yang mengemplang pajak film. Kenapa kita takut tidak dapat menonton film impor itu? Bukankah masih ada Riri Riza, Hanung Bramantyo, dan sutradara-sutradara bagus yang lain?

Ke manakah kecenderungan hidup kita sebagai bangsa, makin kohesif-integral atau justru makin tak berkepastian?

Ketakberkepastian itu mengemuka, karena kita melupakan spirit sebagai bangsa, sebagaimana dulu Bung Karno mampu menggalang negara-negara Asia-Afrika. Spirit seperti yang ditunjukkan dalam marhaenisme; bukan partainya. Itulah yang kita butuhkan sekarang. Karena sebagaimana kita harapkan, kalau negara tak mampu dan bisa memberikan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, minimal paling tidak memberikan perlindungan, rasa aman, dan keadilan. Tapi sekarang bahkan rasa aman yang paling mendasar pun sudah tak ada. Itu ditunjukkan dengan bukti, agama mayoritas di negeri ini bisa berperilaku seenaknya sebagaimana terlihat dalam kasus Cikeusik. Kalau kepastian rasa aman sudah tidak ada, buat apa kita bernegara?

Apa penyebab semua itu?

Rasa minder itu! Output-nya ketidakpastian. Seperti sistem negara kita yang presidensiil dan parlementer. Kenapa kita tidak kembali ke Pancasila, sila kelima. Siapa tahu dengan begitu kita mempunyai sistem pemerintahan sendiri, karena sistem demokrasi presidensiil dan parlementer tidak cocok bagi sistem demokrasi kita. Meski bukan berarti kita kembali ke sistem musyawarah mufakat seperti zaman Soeharto dulu. Sistem saat ini terbukti menimbulkan suasana ketidakpastian. Bagaimana kita bisa merespons suasana kemerdekaan seperti sekarang, jika dalam kondisi penuh ketidakpastian.

Karena itu saya setuju NKRI menjadi harga mati, tetapi dengan syarat: pemerintah serius mengurusi negara. La ini, semua mikir partai masing-masing. Gimana mau NKRI?

Karena itu kita semua, terutama para tokoh, harus berpikir konsisten. Kalau mau nasionalisme ya nasionalisme, kalau globalisme ya globalisme. Jangan seperti sekarang, ketika salah satu tokoh bisa dengan enak mengatakan, “Kantongi saja nasionalismemu,” dengan lebih mengutamakan globalisasi atau internasionalisme, dengan dasar nasionalisme sudah mati. Terbukti, terlalu banyak pekerja asing di negeri ini, sebagaimana negeri ini banyak mengekspor pekerja ke luar negeri. Kalau nasionalisme tak mampu, globalisasi tak bisa, mending kita jadi provinsi ke-51 Amerika Serikat.

Sekarang teori dan praksis bertolak belakang. Sejak kecil kita diajari ekonomi koperasi, tapi pernahkah Anda menjumpai gedung pencakar langit di jalan utama di Jakarta dimiliki koperasi? Saya bayangkan jika klub-klub sepakbola dimiliki koperasi, keuntungan untuk anggota.

Jadi Indonesia harus bagaimana?

Harus ada revolusi pemikiran, mindset revolution. Dan, yang mengawali adalah pemimpin karena dia mengambil sekitar 80 persen peran penting revolusi itu, sementara masyarakat hanya sekitar 20 persen.