Minggu, 29 Mei 2011

tafsir ayat-ayat ibadah

BAB I
PENDAHULUAN
Manusia dan makhluk lainnya adalah allah yang menciptakan , tak lepas dari tujuan allah menciptakannya ialah untuk beribadah kepadanya. Allah menegaskan pada alquran pada suarat az-zariyat ayat 56, yang artinya “Dan aku tidak menciptakn jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku”.
Beribadah kepada allah ialah menghambakan diri kepada-Nya, dengan penuh kekhusukan,memurnikan ketaatan hanya kepadanya, karena merasakan bahwa hanya allah-lah yang menciptakan, menguasai, memelihara dan mendidik seluruh makhluk.
Dalam hal inisedikt kami paparkan ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tetntang beribadah kepada Allah.

BAB II
Ayat-Ayat Ibadah
A. Surat Al-Baqarah ayat 21
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”
Tiga macam sikap manusia yang disebut diatas: orang bertaqwa, kafir dan munafik, semuanya diajak oleh Allah. Wahai seluruh manusia yang mendengar panggilan ini beribadahlah yakni tunduk, patuh dengan penuh hormat, dan kagumlah kepada Tuhan kamu sang pemelihara dan pembimbing, karena dialah yang menciptakan kamu dan yang sebelum kamu.
Ibadah adalah suatu bentuk kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak kepada sesuatu yang diyakini menguasai jiwa raga seseorang dengan penguasaan yang arti dan hakikatnya tidak terjangkau. Karena itu, ketunduan dan kepatuhan kepada orang tua atau penguasa tidak w.ajar dinamai ibadah.
Paling tidak, ada tiga hal yang menandai seseorang mencapai ibadah.
1. Pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangangnya sebagai milik pribadinya, tetapi milik siapa yang kepada-Nya dia mengabdi.
2. Segala aktivitasnya hanya berkisar pada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya ia mengabdi serta menghindar dari apa yang dilarangNya.
3. Tidak sesuatu untuk dia laksanakan atau hindari kecuali dengan mengaikatnya dengan kehendak siapa yang kepada-Nya ia mengabdi. Bukankah seperti dikemukakan diatas, si pengabdi yakin bahwa jiwa raganya dikuasai oleh siapa yang ia mengabdi kepada-Nya?
Terhadap siapakah ibadah atau pengabdian harus ditujukan?, ayat ini menjelaskan bahwa ibadah tersebut ditujukan kepada Rabb yang menciptakan seluruh manusia dan siapapun yang diberi potensi akal sebelum wujudnya seluruh manusia yang mendengar panggilan ayat ini. Karena pencipta itu adalah Rabb.
Rabb adalah pendidik dan pemelihara. Banyak sekali aspek dari “rububiyat” Allah SWT. Yang menyentuh makhluk-Nya seperti pemberian rejeki, kasih sayang, pengampunan dan lain-lain. Angkatlah salah satu nikmat yang anda rasakan atau anda sadari sedang dimiliki orang lain, dan tanyailah diri anda, siapa yang menganugerahkan nikmat itu? Jawabannya adalah Dia sang pemelihara dan pendidik itu. Bahkan amarah, ancaman, dan siksa-Nya tidak keluar dari makna yang dikandung oleh kata Rabb bukankah orang tua yang memukul anaknya adalah dalam rangka memelihara dan mendidiknya? Kata Rabb pada ayat ini adalah bukti kewajaran sang pencipta untuk ditunjukkan kepadaNya saja segala maacam ketaatan dan kepatuhan.
Tetapi ingat, ibadah yang dilakukan itu bukan untuk kepentingan-Nya, tetapi untuk kepentingan sang pengabdi, yakni agar ia bertaqwa serta serta terhindar dari siksa dan saksi Allah di dunia dan diakhirat. karena itu, laksanakanlah ibadah dengan niat agar kamu bertakwa, yakni dengan mengharap agar kamu apat terhindar dari segala sesuatu yang dapat yang dapat menyiksa kamu.
Di atas dikemukakan bahwa ayat ini mengajak ketiga kelompok manusia yang bertaqwa, kafir dan munafik untuk. Nah pertanyaan yang muncul, apakah yang bertaqwa masih diajak untuk beribadah yang tujuaanya adalah agar mencapai taqwa, padahal mereka telah bertaqwa? Ya mereka tetap diajak, bukan saja agar ibadah tersebut terus memelihara keterhindaran mereka dari siksa, tetapi juga untuk meningkatkan ketaqwaan itu serta memperkokoh benteng yang melindungi mereka dari segala macam ancaman duniawi dan ukhrowi.
Memang boleh jadi ajakan ini lebih banyak ditujukan dan ditekankan kepada orang-orang yang musyrik dan yang menempuh jalan neraka. Ini diperkuat oleh panggilanya Yaa ayyuhan nas (wahai seluruh manusia) yang biasanya digunakan untuk menyeru mereka yang belum beriman, sedang yang telah beriman dipanggil dengan ya ayyuhal ladzina amanu.
Sebagaiman dikuatkan juga oleh lanjutan ayat berikut yang menyatakan janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Disini Allah menampakkan betapa besar kasih sayangNya kepada makhluk, khususnya manusia. Walaupun para pendurhaka telah melampauhi batas, namun mereka masih diajak. Ini karena sikap keras yang ditampilkan dalam ayat-ayat yang lalu lahir dari keinginan mengembalikan mereka kejalan yang benar. Apa yang ditempuh itu, adalah perwujudan dari sifat rububiyah Allah kepada seluruh manusia bahkan alam semesta. Memang pendidik hendaknya sesekali mengancam bahkan kalau perlu menjatuhkan sanksi terhadap peserta didik, tetapi itu tidak boleh menjadikanpeserta didik semakin menjauh dari tujuan yang ingin dicapai. Pendidik apabila telah mengucapkan kalimat keras atau tindakan tegas kepada peserta didik, dituntut untuk kembali kepadanya dengan sikap dan kata-kata yang menghilangkan kegusaran dan dampak buruk yang mungkin hinggap dihati peserta didiknya. Ia hendaknya tetap memelihara hubungan sehingga peserta didik tidak semakin menjauh atau antipati terhadap pendidik. Nah hal serupa inilah yang ditempuh oleh ayat diatas.

Surat Az-Zumar ayat 2 dan 3
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ ﴿٢﴾ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ)۳(
Artinya: “2.Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab kepadamu(Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran.Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keteetan kepada-Nya. 3.Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”
Dalam surat Az-Zumar ayat 2 Allah SWT menjelaskan, bahwa dia menurunkan kepada rasul-Nya kitab Al-Qur'an, dengan membawa kebenaran dan keadilan. Maksud "membawa kebenaran" dalam ayat ini ialah membawa perintah kepada seluruh manusia agar mereka beribadah hanya kepada Allah. Kemudian Allah menjelaskan cara beribadah yang benar itu hanyalah menyembah Allah saja, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, bersih dari pengaruh syirik atau riya'. Kebenaran yang terdapat dalam Al-Qur'an itu sesuai dengan kebenaran yang termuat dalam kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-rasul sebelumnya.

Dalam surat Az-Zumar ayat 3 Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengingatkan kaumnya bahwa hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih. Maksud agama dalam ayat ini adalah ibadah dan taat. Oleh sebab itu ibadah dan taat itu hendaknya ditujukan kepada Allah semata, bersih dari syirik dan riya'.
Ibn 'Arobi berkata : Ayat ini menunjukkan kewajiban niat dalam setiap pekerjaan. Jadi pada dasarnya setiap pekerjaan itu harus didasari keikhlasan. Akan tetapi jangan sampai niat kita mengendorkan semangat kita dalam berlomba-lomba dalam kebaikan, karena banyak orang yang beranggapan bahwa ketika mereka sudah berniat dengan ikhlas maka sudah cukup bagi mereka dan mereka enggan meningkatkannya. Mereka sudah merasa cukup dengan apa yang mereka kerjakan padahal itu belum seberapa nilainya dimata Allah SWT.
B. Surat Ar-Rum ayat 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Allah Swt. berfirman: Fa aqim wajhaka li ad-dîn hanîfâ (Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama Allah). Menurut Mujahid, Ikrimah, al-Jazairi, Ibnu al-‘Athiyah, Abu al-Qasim al-Kalbi, dan az-Zuhayli, kata ad-dîn bermakna dîn al-Islâm. Penafsiran ini sangat tepat, karena khithâb ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw., tentu agama yang dimaksudkan adalah Islam.
Adapun hanîf, artinya cenderung pada jalan lurus dan meninggalkan kesesatan. Kata hanîf tersebut, merupakan hâl (keterangan) bagi adh-dhamîr (kata ganti) dari kata aqim atau kata al-wajh; bisa pula merupakan hâl bagi kata ad-dîn. Dengan demikian, perintah itu mengharuskan untuk menghadapkan wajah pada dîn al-Islâm dengan pandangan lurus; tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, dan tidak condong pada agama-agama lain yang batil dan menyimpang. Perintah ini merupakan tamsil untuk menggambarkan sikap penerimaan total terhadap agama ini, istiqamah di dalamnya, teguh terhadapnya, dan memandangnya amat penting.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: fithrah Allâh al-latî fathara an-nâs ‘alayhâ (tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu). Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia.
Menurut sebagian mufasir, kata fithrah Allâh berarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama yang haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah Swt. untuk cenderung pada tauhid dan dîn al-Islâm sehingga manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya.
Sebagian mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Syihab memaknainya dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya fitrah dengan Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan. Hal ini terdapat dalam ayat Al-Qur’an yang lain yaitu, (QS adz-Dzariyat 56).
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Jika dicermati, kedua makna tersebut tampak saling melengkapi.
Harus diingat, kata fithrah Allâh berkedudukan sebagai maf‘ûl bih (obyek) dari fi‘il (kata kerja) yang tersembunyi, yakni ilzamû (tetaplah) atau ittabi‘û (ikutilah). Itu berarti, manusia diperintahkan untuk mengikuti fitrah Allah itu. Jika demikian, maka fitrah yang dimaksudkan tentu tidak cukup hanya sebatas keyakinan fitri tentang Tuhan atau kecenderungan pada tauhid. Fitrah di sini harus diartikan sebagai akidah tauhid atau dîn al-Islâm itu sendiri.
Dari keterangan diatas memperkuat perintah untuk mempertahankan penerimaan total terhadap Islam, tidak condong pada agama batil lainnya, dan terus memelihara sikap istiqamah terhadap dîn al-Islâm, dîn al-haq.
Ini sama seperti firman-Nya:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“ Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya dia maha melihat apa yang kamu kerjakan (QS Hud :112).”
Allah Swt. berfirman: لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ (tidak ada perubahan atas fitrah Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillâh maksudnya adalah li dînillâh. Kata fithrah sepadan dengan kata al-khilqah. Jika fitrah dalam ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dîn Allâh, maka kata khalq Allâh pun demikian, bisa dimaknai dîn Allâh.
Allah Swt. memberitakan, tidak ada perubahan bagi agama yang diciptakan-Nya untuk manusia. Jika Allah Swt. tidak mengubah agamanya, selayaknya manusia pun tidak mengubah agama-Nya atau menggantikannya dengan agama lain.
Oleh karena itu, menurut sebagian mufassir, sekalipun berbentuk khabar nafî (berita yang menafikan), kalimat ini memberikan makna thalab nahî (tuntutan untuk meninggalkan). Dengan demikian, lafal tersebut dapat diartikan: Janganlah kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan kemusyrikan;janganlah mengubah fitrahmu yang asli dengan mengikuti setan dan penyesatannya; dan kembalilah pada agama fitrah, yakni agama Islam.
Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: Dzâlika ad-dîn al-qayyim walâkinna aktsara an-nâs lâ ya‘lamûn (Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). Kata al-qayyûm merupakan bentuk mubâlaghah dari kata al-qiyâm (lurus). Allah Swt. menegaskan, perintah untuk mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan fitrah yang sehat itu adalah agama yang lurus; tidak ada kebengkokan dan penyimpangan di dalamnya.
C. Surat Thaha ayat 14
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”
Sudah jelas dan gamblang bagaimana Allah menjelaskan kepada kita tentang cara menginggat Allah yaitu dengan sholat, maka janganlah memutar balikkan fakta tentang sesatu yang sudah jelas adanya.
Sungguh merugi kalau kita tidak mau berterimakasih kepada orang-orang yang telah berjasa kepada kita, Rasulullah SAW contohnya, ia adalah seorang rasul yang telah menerima dan menyampaikan perintah beribadah (baik berupa ibadah mahdhoh maupun ibadah ghoru mahdhoh) kepada kita semua sedang beliau bisa mensinergikan antara keduanya.
Walaupun kita tahu bahwa Rasulullah sudah dijamin oleh Allah, beliau melakukan ibadah mahdhoh maupun yang ghoiru mahdhoh, sedang kita orang yang banyak dosa sudah berani mendakwakan diri sebagai orang yang benar dan telah mengetahui hakikat.
D. Surat Al-Bayyinah Ayat 5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
Huruf ل pada ayat وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ menunjukkan bahwasanya ibadah diwajibkan bukan karena mengharapkan surga ataupun karena agar terhindar dari neraka akan tetapi lebih kepada sikap kehambaan kita (yaitu karena kita seorang hamba dan Dia (Allah) adalah ربّ tuhan), walaupun seumpamanya ada sebuah ketentuan dalam agama yaitu tidak ada konsep pahala ataupun siksa, lalu kemudian kita diperintah oleh Allah untuk beribadah, maka kita tetap harus patuh dan tunduk serta melaksanakan apa yang menjadi ketentua-Nya atas dasar kemurnian dalam beribadah.
Dalam tafsir Al-Kabiir dijelaskan bahwa Ibadah adalah sikap merendahkan dan menghinakan diri dihadapan Allah SWT, sedangkan orang yang beranggapan bahwa sikap merendahkan dan menghinakan diri itu adalah bentuk dari ketaatan adalah salah, karena ada sekelompok orang yang menyembah malaikat, Isa Al-Masih dan berhala-berhala. Sedangkan kita tidak boleh mengikuti jalan tersebut, hanya saja dalam syariat hal tersebut menjadi suatu nama setiap ketaatan kepada Allah dengan jalan menghinakan diri dan memuliakan-Nya dengan segala kemuliaan. Asy-Syaikh Fakhruddin Muhammad mengatakan bahwa, dalam melaksanakan ibadan harus ada dua unsur, yaitu :
1. Memuliakan dengan segala kemuliaan (غاية التّعظيم ), dan bahwa sholatnya anak kecil ( belum baligh ) itu tidak dapat disebut dengan ibadah, karena anak kecil ( belum baligh ) tidak terkenai hukum taklifi.
2. Adanya perintah untuk beribadah( أن يكون مأمورا به), adapun ibadah dari seorang yahudi bukan dinamakan ibadah, walaupun ia mengagungkan Allah. Karena ia menyekutukan Allah, maka mereka tidak diperintah untuk beribadah.
مخلصين (sikap ikhlas) harus dimulai dari permulaan sampai akhir dari pekerjaan. Orang yang ikhlas ialah orang yang selalu berbuat baik atas dasar kebaikan, menjalankan kewajiban kerena kewajibanya, dan ia akan selalu melaksanakanya secara tulus karena Allah semata, tidak ada perasaan riya' sombong atau yang lainya, akan tetapi ia mempunyai prinsip yang diyakini kebenaranya bahwa amal ini aku kerjakan tidak karena aku mengharap surga atau menghindar dari neraka. Walaupun hal tersebut pasti adanya, tetapi kita mencoba untuk berbuat yang terbaik dan ikhlas karena Allah.
Kecenderungan manusia ketika beribadah ialah mengorientasikannya untuk berlomba-lomba mencari fahala dan menjauhkan diri dari siksa, lalu timbul pertanyaan apakah pekerjaan itu juga dapat dikategorikan ikhlas?
Menilai dari kecenderungan manusia yang seperti itu ada tiga poin yang perlu dicermati :
1. Terdapat sekelompok Manusia yang dalam keadaan terdesak, susah atau terancam pada sesuatu yang berbahaya, maka dapat dipastikan bahwa mereka saat itu (baik dia yakin maupun tidak), dia akan percaya dan kembali kepada Tuhanya dalam bentuk ibadah. Kemudian apabila Allah menganugrahkan kepadanya suatu nikmat, ia akan lupa denagan apa yang telah ia mohon sebelumya. Orang seperti ini biasanya dapat bersikap ikhlas dan kadang pada suatu saat mengharapkan pahala atau menghindar dari siksa, yaitu ditunjukkan ketika ia berdo'a, yaitu mereka mengharapkan sesuatu dari ibadahnya.
2. Golongan yang benar-benar dapat beramal dengan ikhlas, golongan ini masuk dalam kategori golongan Khosh dan ditempati oleh para Nabi dan Rasul Allah.
3. Golongan yang tidak dapat terlepas dari sikap ingin mendapatkan pahala dan menghindar dari siksa, dan ini juga dapat digolongkan dalam kategori perbuatan yang iklas karena memang Allah sudah menjanjikan semua itu selama ia tidak riya', sombong, syirik dan sebagainya.
Jadi sudah tidak ada lagi alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakan sholat, puasa, zakat dan lain-lain yang berkaitan dengan ibadah mahdhoh, akan tetapi tidak menafikan ibadah yang ghoiru mahdhoh dan keduanya harus kita fahami dengan total menyeluruh dan sempurna.
E. Surat Al-Kafirun 1-6
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ -١- لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ -٢- وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ -٣- وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ -٤- وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ -٥- لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ -٦-
Artinya: “1. katakanlah hai orang-orang kafir. 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. Dan kamu bukan penyembah tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. 5. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah tuhan yang aku sembah. 6. Untukmulah agamamu dan untukkulah agama ku.”
(1-2) Dalam ayat-ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa “Tuhan” yamg mereka sembah bukanlah “Tuhan” yang ia sembah, karena mereka menyembah “Tuhan” yang memerlukan pembantu dn mempunyai anak atau menjelma dalam suatu bentuk atau dalam sesuatu atau bentuk-bentuk lain yang mereka dakwakan. Sedang Nabi SAW menyembah Tuhan yang tidak ada tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak sanggup menerka bagaimana Dia, tidak ditentukan oleh tempat dan tidak terikat oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.
Maksud pernyataan itu adalah terdapat perbedaan sangat besar antara “Tuhan” yang di sembah orang-orang kafir dengan Tuhan yang disembah nabi Muhammad. Mereka menyifati tuhannya dengan sifat-sifat yang tidak layak sama sekali bagi Tuhan yang disembah nabi.

(3) Selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang diperintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang di dakwahkan nabi Muhammad, karena sifat-sifat-Nya berlainan dengan sifat-sifat “Tuhan” yang mereka sembah dan tidak mungkin dipertemukan antara kedua macam sifat tersebut.
(4-5) Sesudah Allah menyatakan tentang tidak mungkin ada persamaan sifat antara Tuhan yang disembah oleh Nabi SAW dengan yang disembah oleh orang kafir , maka dengan sendirinya tidak ada pula persamaan dalam hal ibadah. Tuhan yang disembah Nabi Muhammad adalah Tuhan yang Mahasuci dan tandingan, tidak menjelma pada seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu. Sedangkan “Tuhan” yang mereka sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut diatas. Lagi pula ibadah Nabi hanya untuk Allah saja, sedang ibadah mereka bercampur dengan syirik dan dicampuri dengan kelalaian dari Allah, maka yang demikian tidak dinamakan ibadah.
Pengulangan pernyataan yang sama seperti yang terdapat dalam ayat 3 dan 5 adalah untuk memperkuat dan membuat orang yang mengusulkan kepada Nabi SAW berputus asa terhadap penolakan Nabi menyembah tuhan mereka selama setahun. Pengulangan seperti ini juga terdapat dalam surah arRahman/55 dan al Mursalat/77. Hal ini adalah biasa dalam bahasa Arab.
(6) Kemudian dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan firman-Nya yaitu, “Bagi kamu balasan atas amal perbuatanmu dan bagiku atas amal perbuatanku.”
BAB III
SIMPULAN
Dari penjelasan tersebut di atas bisa disimpulkan bahwasanya ayat-ayat yang menjelaskan dan memerintahkan kita untuk beribadah sangat banyak dari ayat yang mengajak kita untuk mengerjakan shalat, menunaikan zakat dan lain-lain. Dan dari paparan diatas kita bisa mengambil pelajaran dari tafsiran-tafsiran tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen agama RI. 2009. Al-Qur’an dan tafsirnya. Lembaga Percetakan Al-Qur’an Departemen Agama : Bogor

Departemen Agama. 1971. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Yayasan Penterjemah Al-Qur’an : Jakarta

http://makalah tafsir ayatibadah.blogspot.com/
http://bulankurniafitri.wordpress.com/2010/12/26/tafsir-ayat-ayat-tentang-ibadah/ Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al misbah. Lentera Hati: Ciputat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar